Berpikir kritis itu sangat penting bagi pengembangan tradisi berpikir. Berpikir kritis merupakan kunci pembuka gerbang ilmu dan pengetahuan.
Namun, berpikir kritis itu berbeda dengan bersikap kritis. Berpikir kritis adalah proses berpikir yang selalu meragukan kebenaran informasi yang ia terima. Orang yang berpikir kritis selalu bertanya, masak iya sih, mengapa bisa seperti itu, apa penyebabnya, bagaimana hal itu bisa terjadi, dsb. Proses itu berlangsung di dalam fikiran kita dan bersifat senyap. Dengan kesenyapan itu orangpun tak akan menyadari bahwasanya ia sedang dikritisi oleh kita.
Berbeda dengan sikap yang kritis. Sikap yang kritis adalah sikap yang selalu mempertanyakan kebenaran segala sesuatu melalui statemen verbal. Ia akan langsung merespon dengan pertanyaan-pertanyaan yang bertujuan menguji kebenaran informasi yang ia terima. Ia akan mengungkapkan ketidaksetujuannya secara terbuka, memprotesnya, bahkan menentangnya. Boleh-boleh saja sih, asal jangan kebablasan aja.
Soalnya saya mengamati semakin banyak saja orang yang kebablasan dalam bersikap kritis. Ia meragukan kebenaran informasi yang disampaikan lawan bicaranya dengan mengungkapkan statemen-statemen yang bersifat penyangkalan. Tujuannya adalah untuk melemahkan keyakinan lawan bicara dan 'memaksakan' kebenaran yang ia yakini.
Suatu ketika seorang teman lama memprotes kebijakan organisasi bisnis milik saya yang mulai menerapkan sistem formalitas. Ia mengkritisi kebijakan saya tersebut dengan mengatakan formalitas dalam organisasi itu tak baik karena akan membuat organisasi menjadi kaku. Saya menyangkal sangkalannya dengan menjelaskan pengalaman saya tentang betapa sulitnya mengatur banyak orang dalam sebuah organisasi yang harus melayani banyak orang secara terus menerus dalam jangka panjang. Situasinya akan semakin rumit karena pelayanan yang diberikan menjadi kewajiban yang harus dipenuhi karena disertai dengan pemberian sejumlah uang kepada organisasi. Jika pelayanan tidak sesuai dengan harapan mereka, maka mereka akan komplain, protes bahkan marah. Saya menjelaskan bahwa untuk menghindari hal tersebut, maka akhirnya saya menerapkan prosedur dan aturan formal bagi seluruh pengelola. Dan setelah kebijakan itu diterapkan ternyata kualitas layanan organisasi semakin meningkat. Sayapun dapat berpikir dan bekerja jauh lebih tenang.
Saya menyampaian pengalaman pribadi tersebut agar ia tahu penyebab mengapa saya yang tak suka formalitas menerapkan kebijakan formal dalam organisasi bisnis saya.
Sayangnya ia tetap mengkritisi hal tersebut. Berkali-kali ia menyampaikan ketidaksetujuannya kepada saya.bahkan dengan nada yang terkesan mencemooh. Setiap kali saya memberi argumentasi ia selalu mengkritisi argumentasi itu. Ia berusaha dan terus berusaha bersikap kritis terhadap kebijakan saya. Untungnya saya cepat tersadar dan mulai tak melayani sikap kiritisnya. Saya menganggap cara berpikir kritisnya mulai kebablasan. Saking kritisnya sampai ia lupa bahwa kebijakan itu saya terapkan bukan di organisasi miliknya, tapi di organisasi milik saya sendiri.
"suka-suka akulah, kawan. Inikan organisasi miliku. Dan sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan dirimu. Sungguh orang kritis yang aneh!" Batin saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ada Komentar?