Selasa, 27 Desember 2016

MENGINTIP GERAKAN MAHASISWA UJB TAHUN 90-AN: AKTIVIS KAMPUS VS AKTIVIS JALANAN

Bagian I dari 4 Tulisan

Saya masuk di Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra pada tahun 1993. Tak ada pertimbangan khusus untuk memilih kampus itu. Bukan karena ideologinya, bukan pula karena kualitasnya. Tak ada pertimbangan rasional saat itu. Pragmatis aja; ketemu brosur, dibolak balik, daftar, ikut test, bayar uang pendaftaran dan… kuliah!

Tahun 1993 mahasiswa baru yang berasal dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum kuliah di Kampus Timoho.  Sedangkan Fakultas Tekhnik kuliah di kampus Pingit.

Gedung kampus di Timoho itu adalah gedung baru. Tahun 1993 ekonomi Indonesia memang lagi bagus-bagusnya. Temen-temen saya dari pelosok desa Kalimantan Barat banyak yang kuliah di Jogja. Harga jeruk masih sangat tinggi, produksinya juga melimpah ruah. Demikian pula dengan karet, buah pinang, cengkeh dan lada. Tak heran maka sebagian besar kampus di Jogja diserbu oleh masyarakat luar jawa yang makmur gemah ripah gong liwang-liwung itu. Termasuk pula UJB. Mungkin karena alasan itulah, UJB memutuskan untuk membangun gedung baru. Gedung megah berlantai tiga yang dibangun di tepi Jalan Timoho, Yogyakarta.

Seperti juga sebagian besar mahasiswa perantau yang lain, saya menjalani kehidupan belajar di UJB dengan begitu santainya. Ikut organisasi kemahasiswaan malas. Kuliah aja malas, apalagi ikutan organisasi, hehee. 

Tak heran selama dua tahun nasib saya sebagai mahasiswa nelongso banget. IP Nasakom, nasib nol koma. Pergaulan tidak berkembang. Pengetahuan pas-pasan. Keterampilan yang dimilikinya tak jauh dari ngelinting tembako Djie Sam Soe plus tembakau aceh yang bisa bikin kepala goyang-goyang, serta megang leher botol alias mabok. 

Sekitar dua tahun lamanya saya hidup tanpa kesadaran sosial. Merajut sepi, menyendiri dalam kehampaan individual yang hambar.

Saya agak tersadar menjadi ‘manusia’ sekitar tahun 95-an. Seorang rekan satu kampung menginap di rumah kontrakan saya dan selalu mengakak saya ngobrol. Ia lebih banyak bicara tentang makna hidup. Beberapa hari lamanya saya berdiskusi dengannya. Lalu tak tahu apa yang terjadi, saya merasa ada sesuatu yang salah dalam proses kehidupan saya selama ini. Pendek cerita saya bagai terbangun dari tidur panjang saya. Nah sejak saat itulah saya mulai  memasuki kehidupan baru. Mulai memasuki fase 'merasa' menjadi manusia.

Sayapun mulai beraktivias sosial. Menjadi bagian dari pemuda kampung Jl. Cantel, tempat saya ngontrak rumah, tak jauh dari kampus Timoho. Aktif di Masjid, ikut tahlilan, mendirikan TPA dan menghadiri aneka majelis ilmu. Saya juga mulai intens diskusi dengan mahasiswa-mahaiswa lintas kampus yang berdomisili di sekitar kontrakan saya. Termasuk juga mendatangi aneka aktivitas ilmiah di berbagai kampus, serta 'nyantrik' dengan beraneka ragam orang berilmu di pelosok Jogja.

Gak tahu kenapa gairah saya 'bersosialita' saat itu begitu menggebu-gebu. Ruang gerak di sekitar rumah kontrakan menjadi semakin membosankan. "Harus ada ruang gerak baru!", pikir saya saat itu. 

Lalu akhirnya sayapun mulai melirik kampus. Mulailah saya ngumpul-ngumpul dengan teman-teman di Kampus.

Debut pertama saya di Kampus adalah membantu temen-temen mengelola koperasi mahasiswa. Lalu bersama aktivis kampus Fakultas Ekonomi yang lain, seperti Ataullah, Riyeke Ustadiyanto, Asrul Dedek Mandai, Made, Prayit, Dudik, dll, saya terlibat dalam pendirian Klinik Kewirausahawan Janabadra (KKJ). 

UKM ini digagas oleh Ataullah dan Riyeke yang menjadi pentolah anak Jurusan Akuntansi. Saya respek dengan gagasan mereka lalu mendukungnya. Berdirilah kemudian KKJ ini., dengan ketuanya Ataullah dan saya sebagai Sekretarisnya. 

KKJ ini kemudian menjadi salah satu UKM kebanggaan Kampus karena mampu membuka tempurung aktivitas mahasiswa yang terperangkap pada tembok ekslusifitas mahasiswa. KKJ telah berani mendobrak bahwa unit kegiatan mahasiswa tak harus melulu berorientasi pada kesenangan internal mahasiswa. Mahasiswa harus beraktivitas pula demi kemajuan masyarakat. Begitu kira-kira idealisme yang dijadikan fondasi untuk membangun unit kegiatan mahasiswa baru ini.

Gaya akivis Kampus banget...Tahun 1995


Setelah KKJ berdiri, saya dan beberapa teman di jurusan Manajemen merintis berdirinya Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen (HMJ-Manajemen). HMJ Manajemen yang kami rintis bersama mahasiswa jurusan manajemen lainnya ini didirikan tak terlepas dari dorongan pentolan mahasiswa jurusan akuntansi yang sudah terlebh dahulu membentuk Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi. 

Ada beberapa nama yang saya ingat turut serta merintis berdirinya Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen itu, seperti Budi Indra Bangsawan, Dudik, Asrul, Sulis, dsb.

Tahun 1997 awal, kalau tidak salah, terjadi sedikit pergolakan di kalangan organisasi Kampus. Organisasi Senat Mahasiswa dianggap kurang mengakomodir kemajuan gerak mahasiswa di Kampus UJB. Maka kawan-kawan aktivis kampus yang agak progressif saat itu melakukan gerilya gagasan. Misinya ingin menjadikan pemilihan Ketua Senat Mahasiswa sebagai salah satu entri point bagi perbaikan kehidupan organisasi kampus.

Lalu beberapa kawan aktivis kampus melakukan pertemuan-pertemuan untuk memanfaatkan moment itu sebagai moment perubahan. Saya terlibat dalam pertemuan itu. Namun tidak begitu intens. Saya sendiri tak berniat untuk mengikuti prosesi pemilihan Ketua Senat tersebut karena masih sibuk membangun dua organisasi baru, HMJ-Manajemen dan Klinik Kewirausahaan Janabadra.

Lalu dilansirlah rencana Pemilu Senat Mahasiswa Universitas Janabadra. Panitia penyelenggaran pemilu tersebut sebagian besar adalah para aktivis kampus yang seangkatan dengan saya. Beberapa rekan pentolan kampus mengajukan dan diajukan sebagai kandidat Ketua Senat Mahasiswa. Sebagian besar adalah pengurus UKM dan perwakilan dari Fakultas.

Tak lama setelah pengumuman penyelenggaraan pemilu Senat Mahasiswa, munculah desas desus bahwa Senat Mahasiswa akan diambil alih oleh aktivis jalanan. 

Aktivis jalanan adalah sebuah istilah yang diberikan kepada mahasiswa yang sering berdemonstrasi di jalanan. Mereka adalah mahasiswa lebih banyak beraktivitas di luar kampus. Kerjaannya adalah diskusi dan demonstrasi membawa tuntutan yang oleh sebagian besar masyarakat sangat menakutkan saat itu, ‘melawan pemerintahan Soeharto’.

Soeharto saat itu sedang jaya-jayanya. Hebat dan kuat. Pemerintahannya solid. POLRI dan ABRI bekerja 100% untuk menjaga kekuasaannya dari aneka rongrongan. Tak ada yang berani melawannya. Mereka yang melawan akan diintimidasi. Tak peduli latar belaangnya. Sudah banyak korbannya. Ada Marsinah, ada Udin juga ada mahasiswa yang diculik dan tak pernah kembali. 

Tak heran bahkan mendiskusikan masalah negara saja tak ada yang berani. Termasuklah sebagian besar aktivis yang bergerak di kampus Janabadra saat itu.

Nah, entah apa motifnya, pada pemilihan senat mahasiswa saat itu santer terdengar para akvis jalanan yang dianggap tak pernah peduli dengan aktivitas organisasi kemahasiswa di kampus ini akan kembali ke kampus. Mereka akan merebut Senat Mahasiswa lalu menjadikan organisasi itu sebagai alat untuk melancarkan berbagai protes sosial politik yang menyasar pada kekuasaan rezim Orde Baru.

Bagi para aktivis kampus, desas-desus ini dirasakan sangat mengkhawatirkan. Mereka khawatir organisasi kampus akan dijadikan sebagai alat untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat politis, yaitu melawan pemerintahan Soeharto.

Beberapa hari setelah pendaftaran Calon Ketua Senat dibuka, desas-desus itu akhirnya terbukti. Beberapa pentolan aktivis jalanan yang dianggap ‘gak nyambung’ dengan chemistry sebagian besar aktivis kampus mendaftarkan diri sebagai Ketua Senat Mahasiswa. Ada Herry Sebayang yang sangat terkenal di Kampus karena pernah melakukan aksi mogok makan melawan Yayasan UJB serta memiliki gaya orasi yang menggetarkan. Ada Eko Prastowo, serta Harry Wisnuadji. Kecuali Harry Wisnuadji, seluruh aktivis itu berasal dari Fakultas Hukum.

Heri Sebayang mendaftarkan diri melalui salah satu UKM bentukan baru. Tim suksesnya yang menjadi ujung tombak adalah Harry Kurniawan, atau Harry Black. Ia adalah salah satu pentolah aktivis jalanan yang sangat piawai dalam ber-retorika.

Karena khawatir, akhirnya para aktivis kampus melakukan pertemuan. Saya beberapa kali mengikuti pertemuan tersebut. Namun hanya mengambil posisi sebagai pendengar saja. Inti dari pertemuan itu adalah para aktivis kampus harus menyatukan suara. Jangan sampai suara terpecah. Kalau terpecah maka posisi ketua Senat pasti akan diambil alih oleh aktivis jalanan yang tak pernah peduli dengan organisasi di kampus. Begitu kira-kira dasar pemikirannya. 

Saya mengangguk-aguk saja mendengarkan jalan pemikiran teman-teman. Mengangguk-angguk bukan karena sepakat. Tapi berupaya mencerna materi yang sedang mereka diskusikan. Saya perlu mencerna dengan susah payah, karena saat itu saya memang sama sekali tak mengenal orang-orang yang mereka maksudkan. 

Saya juga tak paham dengan istilah aktivis jalanan, demonstrasi dan sepak terjang mereka selama ini.

Lalu tak ada panas tak ada hujan merekapun sekonyong-konyong mereka meminta saya turut serta mencalonkan diri sebagai Ketua Senat Mahasiswa UJB.

Lho, kok saya? Tanya saya saat itu. Sayakan sudah menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen. Aktif pula di Koperasi juga di KKJ. Hora ono sing liyo, po? Mosok saya yang disuruh ngadepin Hery Sebayang yang walaupun berbadan mungil tapi memiliki suara kayak gledek pada saat orasi itu? Lha saya? Pidato didepan forum aja baru sekali. Itupun direwangi dengan dengkul yang kemelthek. 

"Wah emmoh aku!", begitu kata saya kepada teman-teman saat itu.

Lalu beberapa kawan memberikan beberapa argumen yang pada intinya semakin menyulitkan saya untuk menolak tawaran itu. Pendek cerita, akhirnya tawaran memaksa itu saya terima. Lalu sayapun mencalonkan diri sebagai Ketua Senat Mahasiswa Universitas Janabadra.  Para aktivis kampus yang berasal dari Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Tehnik sepakat untuk membulatkan suara kepada saya. Hal itu mereka lakukan demi menghadang terpilihnya para aktivis jalanan untuk merebut jabatan Ketua Senat sebagai organisasi mahasiswa tertinggi di Kampus.

Perlu diketahui, jabatan Ketua senat saat itu sangatlah bergengsi. Selain sebagai wadah untuk menaungi UKM dengan segala bidadarinya yang lembut-lembut, senat mahasiswa juga memiliki kewenangan untuk mengeluarkan dana dari kampus. Jadi jangan heran jika para aktivis kampus saat itu sangat khawatir apabila para aktivis jalanan itu berhasil merebut posisi Ketua Senat.

Merekakan tak paham organisasi. Kuliah aja gak kelar-kelar. Kerjaannya demonstrasi dan demonstrasi doang. Kerjaannya demonstrasi dan tetap PD teriak-teriak di halaman kampus walau hanya bersama belasan orang peserta aksi saja.  Begitu kira-kira stigma buruk yang melekat pada aktivis jalanan saat itu.

Dengan aneka issue itulah para aktivis kampus ‘menghasut’ mahasiswa untuk tidak memilih aktivis jalanan sebagai ketua senat mahasiswa. Saya sendiri saat itu relatif tak pernah melakukan kampanye. Satu-satunya aktivitas yang saya lakukan adalah mengikuti debat kandidat. Itupun saya hanya ngomong sedikit saja. Mau ngomong apa yo bingung. Hihii.

Oya, saat itu peraturan pemilihan yang ditetapkan adalah setiap mahasiswa dapat mencalonkan diri sebagai ketua senat. Mereka yang memiliki suara terbanyak otomatis menjadi Ketua Senat, dan suara terbanyak kedua akan menjadi sekretaris. Sedangkan mereka yang memiliki suara dibawahnya akan menjadi pengurus dalam organisasi Senat Mahasiswa. Maka setiap fakultas dan UKM mengirimkan wakilnya untuk bertarung memperebutkan Jabatan Ketua Senat Mahasiswa.

Kalau tidak salah saat itu ada 14 orang calon yang mengikuti pemilihan Ketua Senat Mahasiswa. Saya tak ingat semuanya. Namun dari kalangan aktivis kampus diantaranya ada saya sendiri,  ada Galih JP, Jaenal. Dari Fakultas Tekhni ada Ali Murtadlo, Rika. Dari FH ada Setyo (FH) dan dan dari Fakultas Pertanian ada Hubban. Beberapa nama lainnya yang saya lupa. Sementara itu dari aktivis jalanan ada Heri Sebayang, ada Eko Prastowo, dan Harry Wisnuadji.

Beberapa hari menjalang pemilihan dukungan suara terpecah menjadi dua, aktivis kampus dan aktivis jalanan. Lalu mengkerucut pada saya mewakili aktivis kampus dan Heri Sebayang sebagai aktivis jalanan. Sehari menjalang pemilihan mobilisasi suarapun dilakukan. Teman-teman aktivis kampus konsentrasi untuk menggalang dukungan dari UKM-UKM dan mahaiswa yang berasal dari kampus Pingit (FE, FT). Sedangkan Heri Sebayang berkonsentrasi menggalang dukungan dari mahasiswa fakultas Hukum dan Fakultas Pertanian yang saat itu barkativitas di Kampus Timoho.

Saat itu mahasiswa FE, FT baik yang baru maupun yang lama, semua berkuliah di Kampus Pingit. Sedangkan Fakultas Hukum dan Pertanian di Kampus Tiomoho.

Disela-sela aktivitas pemilihan, para aktivitas jalanan itu intens main ke kampus. Disinilah kemudia saya berkenalan lebih dekat dengan mereka. Khususnya Eko Prastowo dan Harry Wisnuadji. Saya menilai pemikiran mereka wajar-wajar saja. Jauh seperti yang digambarkan oleh teman-teman saya para aktivis kampus. Banyak hal yang kita diskusikan. Dari membangun kultur ilmiah hingga merombak struktur organisasi kampus agar tak mengikuti aturan menteri pendidikan yang sangat mengurung kebebasan mahasiswa. Menurut saya, gagasan yang mereka bawa semuanya keren-keren.

Nah setelah melalui proses kampanye, diselenggarakanlah pemungutan suara. Kegiatan pemungutan suara dilakukan di dua kampus. Di Pingit dan di Timoho. Kegiatan itu dilakukan sejak pagi hingga siang hari. Sore jam 3 kalau tidak salah, dilakukan penghitungan suara.

Pada saat penghitungan suara, suara saya dan suara Heri Sebayang saling berkejaran. Salip menyalip. Beberapa saat saya yang pimpin. Disaat yang lain suara Herry Sebayang meninggalkan saya.

Tak beberapa lama hasil perhitungan suara selesai. Heri Sebayang mendapatkan suara tebanyak. Saya berada dibawahnya dengan selisih belasan suara. Dengan demikian Heri Sebayang otomatis terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa Janabadra dan saya ditetapkan sebagai sekretaris. Seluruh aktivis kampus menerima hasil pemilihan yang demokratis tersebut, walau ada beberapa kawan yang memendam rasa kecewa.

Mereka yang kecewa berupaya mendramatisir situasi. Salah satunya dengan mengisukan bahwa terpilihnya Heri Sebayang akan membuat aktivitas UKM merosot karena akan semakin sulit mendapatkan dukungan dari kampus. Pengelola Kampus dan Pengelola Yayasan tak suka dengan aktivitas Heri Sebayang dan kawan-kawannya yang suka mengkritisi kebijakan mereka.

Heri Sebayang memang dikenal sebagai aktivis yang militan. Ia pernah melakukan aksi mogok makan untuk memprotes Yayasan karena dianggap menyelewengkan keuangan kampus. Aksi mogok makan itu membuat para pengurus yayasan sport jantung. Media lokal dan nasional memblowup aksi itu.

Saat itu, saya justru biasa-biasa saja dengan aktivis berpostur minimalis itu. Ngapain takut dengan ‘anak-anak’, tepatnya aktivis berpostur anak-anak pikir saya saat itu hahaaaa (seorry bung).

Paska pemilihan umum mahasiswa, saya semakin intensif berdiskusi dengan para aktivis jalanan yang dicap brandalan itu. Kami bahkan menjadikan sekretariat Senat sebagai sekretariat multi fungsi. 
Suasana Sekretariat SM-UJB

Ya sebagai pusat pengelolaan administrasi, tempat diskusi, tempat bobo’, juga menjemur pakaian dalam, hahaa. Bahkan Galih Joko Purnomo yang juga salah satu pengurus SM-UJB saat itu, menjadikan sekretariat SM-UJB sebagai serambi untuk memajang burung berkicau yang menjadi kegemarannya.

Diskusi itu kami lakukan bersama para senator lainnya. Salah satu konklusi dari putaran diskusi itu adalah perlunya melakukan perombakan dalam organisasi kemahasiswaan di Janabadra.
“Mahasiswa harus memiliki pemerintahan sendiri yang otonom dan tidak berada di bawah kampus”. Begitu pemikiran yang disampaikan oleh Eko Prastowo.

“Sip!”,  jawab rekan-rekan lainnya.

Lalu disusunlah rencana untuk membentuk semacam ‘negara mahasiswa’. Saat itu istilah negara mahasiswa sama sekali belum populer. Satu-satunya kampus di Indonesia yang menerapkan sistem itu adalah IAIN Sunan Kalijaga. Itupun baru hitungan beberapa bulan.

Dasar pemikiran negara mahasiswa atau pemerintahan mahasiswa adalah mahasiswa memiliki otoritas penuh untuk menentukan ‘nasib’ sendiri tanpa harus tunduk dengan otoritas pengelola kampus (rektorat, dekan, dsb) juga pemerintah (Peraturan Menteri). Konsepnya dasarnya adalah penerapan trias politika yang digagas oleh Jhon Locke dan Montesquieu.

Gagasan itu disampaikan oleh Eko Prastowo. Inspirasinya mungkin berasal dari aktivis mahasiswa IAIN Suka yang sudah terlebih dahulu menerapkan gagasan itu pada level praksis.

Awalnya saya tak pernah mengenal istilah trias politika itu. Apalagi para penggagasnya. Namun beruntung saya sering mengunjungi Pepustakaan Daerah yang terletak tak jauh dengan Kampus Pingit. Perpustakan Daerah itu jauh lebih sering saya kunjungi dibandingkan kunjungan saya di ruang kuliah. Saya sering menghabiskan waktu seharian penuh untuk mengunyah aneka buku di Perustakaan itu. Lewat beberapa literatur yang saya dapat di perpustakaan itu, akhirnya saya jadi tahu tentang konsep-konsep tata negara.

Trias politica adalah sebuah sistem pemerintah yang dapat menyeimbangkan kekuasaan dalam sebuah negara. Kekuasaan dibagi menjadi 3 yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Maka para senator terpilih kemudian intens mendiskusikan rencana perombakan besar-besaran terhadap tatanan organisasi kemahasiswaan di Universitas Janabadra. Perombakan itu sangatlah fundamental. Organisasi mahasiswa yang awalnya dikontrol penuh oleh kampus, akan dirubah menjadi semacam negara otonom yang memiliki minial 2 unsur kekuasaan yaitu eksekutif dan legislatif.
PEngurus SM-UJB bobok di kampus...ini bantuin cleaning service nebang pohon

Masalahnya, saat itu organisasi mahasiswa di UJB baru memiliki satu lembaga saja, yaitu lembaga legislatif yang disebut Senat Mahasiswa. Lembaga eksekutifnya belum ada. Masalah lainnya adalah, negara mahasiswa ini juga perlu diberi nama.

Maka disusunlah sebuah rencana yang lebih rinci. Hal pertama yang dilakukan adalah mencari nama untuk negara mahasiswa itu. Jika di IAIN disebut Keluarga Mahasiswa IAIN Suka. Maka di UJB kita sepakat memberinya nama KBM-UJB, Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Janabadra.
Teman-teman kemudian sepakat untuk membentuk dua  lembaga yaitu untuk mengelola KBM-UJB. Lembaga legislatif yaitu Senat Mahasiswa UJB (SM-UJB) serta lembaga legislatif yang disebut Badan Eksekutif Mahasiswa UJB (BEM-UJB).  Tugas SM-UJB adalah membuat peraturan yang diperlukan sedangkan BEM-UJB bertindak seperti presiden yang berfungsi mengelola aktivitas organisasi kemahasiswaan.

Untuk merealisasikan konsep ini memang tidak mudah. Selain belum ada satupun kampus di Indonesia yang menerapkan sistem seperti ini selain IAIN Sukijo, kamipun harus menghadapi penolakan dari berbagai pihak. Ya rektorat, ya aktivis kampus. Kami tak terlalu menggubris penolakan dari rektorat. Kami fokus melakukan sosialisasi perlunya konsep baru ini kepada aktivis kampus. Dan alhamdulillah walaupun para senator ini belum dilantik, mereka mampu meyakinkan para aktivis kampus yang semula menolak untuk kemudian menerima dengan lapangan dada gagasan ini.

Tugas selanjutnya adalah merancang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KBM UJB. Ditemani dengan mesin tik Royal, AD/ART KBM-UJB pun kami susun. Setelah jadi kami sahkan. Setelah itu menggelar pemilu untuk memilih Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa yang disebut dengan istilah Presiden KBM-UJB. Hasil pemilu menentapkan Riyeke Ustadiyanto sebagai Presiden KBM UJB pertama.

Dengan pembentukan Badan Eksekutif dan terpilihnya Riyeke sebagai Presiden, maka sempurnalah tata organisasi ‘kenegaraan’ KBM UJB. Di bawah KBM-UJB inilah seluruh aktivitas kampus, baik kegiatan di UKM maupun kegiatan di Fakultas-fakultas di koordinasikan. Lalu apa aktivitas Senat Mahasiswa?

bersambung.....


Beni Sulastiyo, 

Pontianak, 27 Desember 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar?

ORANG JAWA LEBIH JAGO BERPOLITIK

Iseng-iseng otak-atik angka durasi umur negeri-negeri di Pulau Jawa. Kesimpulannya orang Jawa itu lebih jago berpolitik daripada orang ...