Bagian I dari 4 Tulisan
Saya masuk di Fakultas Ekonomi Universitas Janabadra pada
tahun 1993. Tak ada pertimbangan khusus untuk memilih kampus itu. Bukan karena
ideologinya, bukan pula karena kualitasnya. Tak ada pertimbangan rasional saat itu.
Pragmatis aja; ketemu brosur, dibolak balik, daftar, ikut test, bayar uang
pendaftaran dan… kuliah!
Tahun 1993 mahasiswa baru yang berasal dari Fakultas Ekonomi
dan Fakultas Hukum kuliah di Kampus Timoho. Sedangkan Fakultas Tekhnik kuliah di kampus
Pingit.
Gedung kampus di Timoho itu adalah gedung baru. Tahun 1993
ekonomi Indonesia memang lagi bagus-bagusnya. Temen-temen saya dari pelosok
desa Kalimantan Barat banyak yang kuliah di Jogja. Harga jeruk masih sangat
tinggi, produksinya juga melimpah ruah. Demikian pula dengan karet, buah
pinang, cengkeh dan lada. Tak heran maka sebagian besar kampus di Jogja diserbu oleh
masyarakat luar jawa yang makmur gemah ripah gong liwang-liwung itu. Termasuk pula
UJB. Mungkin karena alasan itulah, UJB memutuskan untuk membangun gedung baru.
Gedung megah berlantai tiga yang dibangun di tepi Jalan Timoho, Yogyakarta.
Seperti juga sebagian besar mahasiswa perantau yang lain,
saya menjalani kehidupan belajar di UJB dengan begitu santainya. Ikut
organisasi kemahasiswaan malas. Kuliah aja malas, apalagi ikutan organisasi,
hehee.
Tak heran selama dua tahun nasib saya sebagai mahasiswa nelongso banget. IP Nasakom, nasib nol koma. Pergaulan tidak berkembang. Pengetahuan pas-pasan. Keterampilan yang dimilikinya tak jauh dari ngelinting tembako Djie Sam Soe plus tembakau aceh yang bisa bikin kepala goyang-goyang, serta megang leher botol alias mabok.
Sekitar dua tahun lamanya saya hidup tanpa kesadaran sosial. Merajut sepi, menyendiri dalam kehampaan individual yang hambar.
Tak heran selama dua tahun nasib saya sebagai mahasiswa nelongso banget. IP Nasakom, nasib nol koma. Pergaulan tidak berkembang. Pengetahuan pas-pasan. Keterampilan yang dimilikinya tak jauh dari ngelinting tembako Djie Sam Soe plus tembakau aceh yang bisa bikin kepala goyang-goyang, serta megang leher botol alias mabok.
Sekitar dua tahun lamanya saya hidup tanpa kesadaran sosial. Merajut sepi, menyendiri dalam kehampaan individual yang hambar.
Saya agak tersadar menjadi ‘manusia’ sekitar tahun 95-an.
Seorang rekan satu kampung menginap di rumah kontrakan saya dan selalu mengakak
saya ngobrol. Ia lebih banyak bicara tentang makna hidup. Beberapa hari lamanya
saya berdiskusi dengannya. Lalu tak tahu apa yang terjadi, saya merasa ada
sesuatu yang salah dalam proses kehidupan saya selama ini. Pendek cerita saya
bagai terbangun dari tidur panjang saya. Nah sejak saat itulah saya mulai memasuki kehidupan baru. Mulai memasuki fase 'merasa' menjadi
manusia.
Sayapun mulai beraktivias sosial. Menjadi bagian dari pemuda
kampung Jl. Cantel, tempat saya ngontrak rumah, tak jauh dari kampus Timoho.
Aktif di Masjid, ikut tahlilan, mendirikan TPA dan menghadiri aneka majelis
ilmu. Saya juga mulai intens diskusi dengan mahasiswa-mahaiswa lintas kampus
yang berdomisili di sekitar kontrakan saya. Termasuk juga mendatangi aneka aktivitas ilmiah di berbagai kampus, serta 'nyantrik' dengan beraneka ragam orang berilmu di
pelosok Jogja.
Gak tahu kenapa gairah saya 'bersosialita' saat itu begitu menggebu-gebu. Ruang gerak di sekitar rumah kontrakan menjadi semakin membosankan. "Harus ada ruang gerak baru!", pikir saya saat itu.
Lalu akhirnya sayapun mulai melirik kampus. Mulailah saya ngumpul-ngumpul dengan teman-teman di Kampus.
Gak tahu kenapa gairah saya 'bersosialita' saat itu begitu menggebu-gebu. Ruang gerak di sekitar rumah kontrakan menjadi semakin membosankan. "Harus ada ruang gerak baru!", pikir saya saat itu.
Lalu akhirnya sayapun mulai melirik kampus. Mulailah saya ngumpul-ngumpul dengan teman-teman di Kampus.
Debut pertama saya di Kampus adalah membantu temen-temen
mengelola koperasi mahasiswa. Lalu bersama aktivis kampus Fakultas Ekonomi yang
lain, seperti Ataullah, Riyeke Ustadiyanto, Asrul Dedek Mandai, Made, Prayit, Dudik, dll, saya
terlibat dalam pendirian Klinik Kewirausahawan Janabadra (KKJ).
UKM ini digagas oleh Ataullah dan Riyeke yang menjadi pentolah anak Jurusan Akuntansi. Saya respek dengan gagasan mereka lalu mendukungnya. Berdirilah kemudian KKJ ini., dengan ketuanya Ataullah dan saya sebagai Sekretarisnya.
KKJ ini kemudian menjadi salah satu UKM kebanggaan Kampus karena mampu membuka tempurung aktivitas mahasiswa yang terperangkap pada tembok ekslusifitas mahasiswa. KKJ telah berani mendobrak bahwa unit kegiatan mahasiswa tak harus melulu berorientasi pada kesenangan internal mahasiswa. Mahasiswa harus beraktivitas pula demi kemajuan masyarakat. Begitu kira-kira idealisme yang dijadikan fondasi untuk membangun unit kegiatan mahasiswa baru ini.
UKM ini digagas oleh Ataullah dan Riyeke yang menjadi pentolah anak Jurusan Akuntansi. Saya respek dengan gagasan mereka lalu mendukungnya. Berdirilah kemudian KKJ ini., dengan ketuanya Ataullah dan saya sebagai Sekretarisnya.
KKJ ini kemudian menjadi salah satu UKM kebanggaan Kampus karena mampu membuka tempurung aktivitas mahasiswa yang terperangkap pada tembok ekslusifitas mahasiswa. KKJ telah berani mendobrak bahwa unit kegiatan mahasiswa tak harus melulu berorientasi pada kesenangan internal mahasiswa. Mahasiswa harus beraktivitas pula demi kemajuan masyarakat. Begitu kira-kira idealisme yang dijadikan fondasi untuk membangun unit kegiatan mahasiswa baru ini.
Gaya akivis Kampus banget...Tahun 1995 |
Ada beberapa nama yang saya ingat turut serta merintis berdirinya Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen itu, seperti Budi Indra Bangsawan, Dudik, Asrul, Sulis, dsb.
Tahun 1997 awal, kalau tidak salah, terjadi sedikit
pergolakan di kalangan organisasi Kampus. Organisasi Senat Mahasiswa dianggap
kurang mengakomodir kemajuan gerak mahasiswa di Kampus UJB. Maka kawan-kawan
aktivis kampus yang agak progressif saat itu melakukan gerilya gagasan. Misinya
ingin menjadikan pemilihan Ketua Senat Mahasiswa sebagai salah satu entri point
bagi perbaikan kehidupan organisasi kampus.
Lalu beberapa kawan aktivis kampus melakukan
pertemuan-pertemuan untuk memanfaatkan moment itu sebagai moment perubahan.
Saya terlibat dalam pertemuan itu. Namun tidak begitu intens. Saya sendiri tak
berniat untuk mengikuti prosesi pemilihan Ketua Senat tersebut karena masih
sibuk membangun dua organisasi baru, HMJ-Manajemen dan Klinik Kewirausahaan
Janabadra.
Lalu dilansirlah rencana Pemilu Senat Mahasiswa Universitas
Janabadra. Panitia penyelenggaran pemilu tersebut sebagian besar adalah para
aktivis kampus yang seangkatan dengan saya. Beberapa rekan pentolan kampus
mengajukan dan diajukan sebagai kandidat Ketua Senat Mahasiswa. Sebagian besar
adalah pengurus UKM dan perwakilan dari Fakultas.
Tak lama setelah pengumuman penyelenggaraan pemilu Senat
Mahasiswa, munculah desas desus bahwa Senat Mahasiswa akan diambil alih oleh
aktivis jalanan.
Aktivis jalanan adalah sebuah istilah yang diberikan kepada mahasiswa yang sering berdemonstrasi di jalanan. Mereka adalah mahasiswa lebih banyak beraktivitas di luar kampus. Kerjaannya adalah diskusi dan demonstrasi membawa tuntutan yang oleh sebagian besar masyarakat sangat menakutkan saat itu, ‘melawan pemerintahan Soeharto’.
Aktivis jalanan adalah sebuah istilah yang diberikan kepada mahasiswa yang sering berdemonstrasi di jalanan. Mereka adalah mahasiswa lebih banyak beraktivitas di luar kampus. Kerjaannya adalah diskusi dan demonstrasi membawa tuntutan yang oleh sebagian besar masyarakat sangat menakutkan saat itu, ‘melawan pemerintahan Soeharto’.
Soeharto saat itu sedang jaya-jayanya. Hebat dan kuat.
Pemerintahannya solid. POLRI dan ABRI bekerja 100% untuk menjaga kekuasaannya
dari aneka rongrongan. Tak ada yang berani melawannya. Mereka yang melawan akan diintimidasi. Tak peduli latar belaangnya. Sudah banyak korbannya. Ada Marsinah, ada Udin juga ada mahasiswa yang diculik dan tak pernah kembali.
Tak heran bahkan mendiskusikan masalah negara saja tak ada yang berani. Termasuklah sebagian besar aktivis yang bergerak di kampus Janabadra saat itu.
Tak heran bahkan mendiskusikan masalah negara saja tak ada yang berani. Termasuklah sebagian besar aktivis yang bergerak di kampus Janabadra saat itu.
Nah, entah apa motifnya, pada pemilihan senat mahasiswa saat
itu santer terdengar para akvis jalanan yang dianggap tak pernah peduli dengan aktivitas
organisasi kemahasiswa di kampus ini akan kembali ke kampus. Mereka akan
merebut Senat Mahasiswa lalu menjadikan organisasi itu sebagai alat untuk
melancarkan berbagai protes sosial politik yang menyasar pada kekuasaan rezim
Orde Baru.
Bagi para aktivis kampus, desas-desus ini dirasakan sangat mengkhawatirkan.
Mereka khawatir organisasi kampus akan dijadikan sebagai alat untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat politis, yaitu melawan pemerintahan Soeharto.
Beberapa hari setelah pendaftaran Calon Ketua Senat dibuka,
desas-desus itu akhirnya terbukti. Beberapa pentolan aktivis jalanan yang
dianggap ‘gak nyambung’ dengan chemistry sebagian besar aktivis kampus
mendaftarkan diri sebagai Ketua Senat Mahasiswa. Ada Herry Sebayang yang sangat
terkenal di Kampus karena pernah melakukan aksi mogok makan melawan Yayasan UJB
serta memiliki gaya orasi yang menggetarkan. Ada Eko Prastowo, serta Harry
Wisnuadji. Kecuali Harry Wisnuadji, seluruh aktivis itu berasal dari Fakultas
Hukum.
Heri Sebayang mendaftarkan diri melalui salah satu UKM bentukan baru. Tim suksesnya yang menjadi ujung tombak adalah Harry Kurniawan, atau Harry Black. Ia adalah salah satu pentolah aktivis jalanan yang sangat piawai dalam ber-retorika.
Heri Sebayang mendaftarkan diri melalui salah satu UKM bentukan baru. Tim suksesnya yang menjadi ujung tombak adalah Harry Kurniawan, atau Harry Black. Ia adalah salah satu pentolah aktivis jalanan yang sangat piawai dalam ber-retorika.
Karena khawatir, akhirnya para aktivis kampus melakukan
pertemuan. Saya beberapa kali mengikuti pertemuan tersebut. Namun hanya
mengambil posisi sebagai pendengar saja. Inti dari pertemuan itu adalah para
aktivis kampus harus menyatukan suara. Jangan sampai suara terpecah. Kalau
terpecah maka posisi ketua Senat pasti akan diambil alih oleh aktivis jalanan
yang tak pernah peduli dengan organisasi di kampus. Begitu kira-kira dasar
pemikirannya.
Saya mengangguk-aguk saja mendengarkan jalan pemikiran teman-teman. Mengangguk-angguk bukan karena sepakat. Tapi berupaya mencerna materi yang sedang mereka diskusikan. Saya perlu mencerna dengan susah payah, karena saat itu saya memang sama sekali tak mengenal orang-orang yang mereka maksudkan.
Saya mengangguk-aguk saja mendengarkan jalan pemikiran teman-teman. Mengangguk-angguk bukan karena sepakat. Tapi berupaya mencerna materi yang sedang mereka diskusikan. Saya perlu mencerna dengan susah payah, karena saat itu saya memang sama sekali tak mengenal orang-orang yang mereka maksudkan.
Saya juga tak paham dengan istilah aktivis jalanan, demonstrasi dan
sepak terjang mereka selama ini.
Lalu tak ada panas tak ada hujan merekapun sekonyong-konyong
mereka meminta saya turut serta mencalonkan diri sebagai Ketua Senat Mahasiswa
UJB.
Lho, kok saya? Tanya saya saat itu. Sayakan sudah menjadi
Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Manajemen. Aktif pula di Koperasi juga di KKJ.
Hora ono sing liyo, po? Mosok saya yang disuruh ngadepin Hery Sebayang yang
walaupun berbadan mungil tapi memiliki suara kayak gledek pada saat orasi itu?
Lha saya? Pidato didepan forum aja baru sekali. Itupun direwangi dengan dengkul
yang kemelthek.
"Wah emmoh aku!", begitu kata saya kepada teman-teman saat itu.
"Wah emmoh aku!", begitu kata saya kepada teman-teman saat itu.
Lalu beberapa kawan memberikan beberapa argumen yang pada
intinya semakin menyulitkan saya untuk menolak tawaran itu. Pendek cerita, akhirnya
tawaran memaksa itu saya terima. Lalu sayapun mencalonkan diri sebagai Ketua
Senat Mahasiswa Universitas Janabadra. Para
aktivis kampus yang berasal dari Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Tehnik sepakat
untuk membulatkan suara kepada saya. Hal itu mereka lakukan demi menghadang
terpilihnya para aktivis jalanan untuk merebut jabatan Ketua Senat sebagai organisasi
mahasiswa tertinggi di Kampus.
Perlu diketahui, jabatan Ketua senat saat itu sangatlah
bergengsi. Selain sebagai wadah untuk menaungi UKM dengan segala bidadarinya
yang lembut-lembut, senat mahasiswa juga memiliki kewenangan untuk mengeluarkan
dana dari kampus. Jadi jangan heran jika para aktivis kampus saat itu sangat
khawatir apabila para aktivis jalanan itu berhasil merebut posisi Ketua Senat.
Merekakan tak paham organisasi. Kuliah aja gak kelar-kelar.
Kerjaannya demonstrasi dan demonstrasi doang. Kerjaannya demonstrasi dan tetap
PD teriak-teriak di halaman kampus walau hanya bersama belasan orang peserta
aksi saja. Begitu kira-kira stigma buruk
yang melekat pada aktivis jalanan saat itu.
Dengan aneka issue itulah para aktivis kampus ‘menghasut’
mahasiswa untuk tidak memilih aktivis jalanan sebagai ketua senat mahasiswa.
Saya sendiri saat itu relatif tak pernah melakukan kampanye. Satu-satunya
aktivitas yang saya lakukan adalah mengikuti debat kandidat. Itupun saya hanya
ngomong sedikit saja. Mau ngomong apa yo bingung. Hihii.
Oya, saat itu peraturan pemilihan yang ditetapkan adalah
setiap mahasiswa dapat mencalonkan diri sebagai ketua senat. Mereka yang
memiliki suara terbanyak otomatis menjadi Ketua Senat, dan suara terbanyak
kedua akan menjadi sekretaris. Sedangkan mereka yang memiliki suara dibawahnya
akan menjadi pengurus dalam organisasi Senat Mahasiswa. Maka setiap fakultas
dan UKM mengirimkan wakilnya untuk bertarung memperebutkan Jabatan Ketua Senat
Mahasiswa.
Kalau tidak salah saat itu ada 14 orang calon yang mengikuti
pemilihan Ketua Senat Mahasiswa. Saya tak ingat semuanya. Namun dari kalangan
aktivis kampus diantaranya ada saya sendiri,
ada Galih JP, Jaenal. Dari Fakultas Tekhni ada Ali Murtadlo, Rika. Dari FH ada Setyo (FH) dan dan dari Fakultas Pertanian ada Hubban. Beberapa nama lainnya yang saya lupa. Sementara itu dari aktivis jalanan ada Heri Sebayang,
ada Eko Prastowo, dan Harry Wisnuadji.
Beberapa hari menjalang pemilihan dukungan suara terpecah
menjadi dua, aktivis kampus dan aktivis jalanan. Lalu mengkerucut pada saya
mewakili aktivis kampus dan Heri Sebayang sebagai aktivis jalanan. Sehari
menjalang pemilihan mobilisasi suarapun dilakukan. Teman-teman aktivis kampus
konsentrasi untuk menggalang dukungan dari UKM-UKM dan mahaiswa yang berasal
dari kampus Pingit (FE, FT). Sedangkan Heri Sebayang berkonsentrasi menggalang
dukungan dari mahasiswa fakultas Hukum dan Fakultas Pertanian yang saat itu
barkativitas di Kampus Timoho.
Saat itu mahasiswa FE, FT baik yang baru maupun yang lama,
semua berkuliah di Kampus Pingit. Sedangkan Fakultas Hukum dan Pertanian di
Kampus Tiomoho.
Disela-sela aktivitas pemilihan, para aktivitas jalanan itu
intens main ke kampus. Disinilah kemudia saya berkenalan lebih dekat dengan
mereka. Khususnya Eko Prastowo dan Harry Wisnuadji. Saya menilai pemikiran
mereka wajar-wajar saja. Jauh seperti yang digambarkan oleh teman-teman saya
para aktivis kampus. Banyak hal yang kita diskusikan. Dari membangun kultur
ilmiah hingga merombak struktur organisasi kampus agar tak mengikuti aturan
menteri pendidikan yang sangat mengurung kebebasan mahasiswa. Menurut saya, gagasan
yang mereka bawa semuanya keren-keren.
Nah setelah melalui proses kampanye, diselenggarakanlah
pemungutan suara. Kegiatan pemungutan suara dilakukan di dua kampus. Di Pingit
dan di Timoho. Kegiatan itu dilakukan sejak pagi hingga siang hari. Sore jam 3
kalau tidak salah, dilakukan penghitungan suara.
Pada saat penghitungan suara, suara saya dan suara Heri
Sebayang saling berkejaran. Salip menyalip. Beberapa saat saya yang pimpin.
Disaat yang lain suara Herry Sebayang meninggalkan saya.
Tak beberapa lama hasil perhitungan suara selesai. Heri
Sebayang mendapatkan suara tebanyak. Saya berada dibawahnya dengan selisih
belasan suara. Dengan demikian Heri Sebayang otomatis terpilih menjadi Ketua
Senat Mahasiswa Janabadra dan saya ditetapkan sebagai sekretaris. Seluruh
aktivis kampus menerima hasil pemilihan yang demokratis tersebut, walau ada
beberapa kawan yang memendam rasa kecewa.
Mereka yang kecewa berupaya mendramatisir situasi. Salah
satunya dengan mengisukan bahwa terpilihnya Heri Sebayang akan membuat
aktivitas UKM merosot karena akan semakin sulit mendapatkan dukungan dari
kampus. Pengelola Kampus dan Pengelola Yayasan tak suka dengan aktivitas Heri
Sebayang dan kawan-kawannya yang suka mengkritisi kebijakan mereka.
Heri Sebayang memang dikenal sebagai aktivis yang militan.
Ia pernah melakukan aksi mogok makan untuk memprotes Yayasan karena dianggap
menyelewengkan keuangan kampus. Aksi mogok makan itu membuat para pengurus
yayasan sport jantung. Media lokal dan nasional memblowup aksi itu.
Saat itu, saya justru biasa-biasa saja dengan aktivis
berpostur minimalis itu. Ngapain takut dengan ‘anak-anak’, tepatnya aktivis berpostur anak-anak pikir saya saat itu hahaaaa (seorry bung).
Paska pemilihan umum mahasiswa, saya semakin intensif
berdiskusi dengan para aktivis jalanan yang dicap brandalan itu. Kami bahkan
menjadikan sekretariat Senat sebagai sekretariat multi fungsi.
Ya sebagai pusat
pengelolaan administrasi, tempat diskusi, tempat bobo’, juga menjemur pakaian
dalam, hahaa. Bahkan Galih Joko Purnomo yang juga salah satu pengurus SM-UJB
saat itu, menjadikan sekretariat SM-UJB sebagai serambi untuk memajang burung
berkicau yang menjadi kegemarannya.
Diskusi itu kami lakukan bersama para senator lainnya. Salah
satu konklusi dari putaran diskusi itu adalah perlunya melakukan perombakan
dalam organisasi kemahasiswaan di Janabadra.
“Mahasiswa harus memiliki pemerintahan sendiri yang otonom
dan tidak berada di bawah kampus”. Begitu pemikiran yang disampaikan oleh Eko
Prastowo.
“Sip!”, jawab
rekan-rekan lainnya.
Lalu disusunlah rencana untuk membentuk semacam ‘negara
mahasiswa’. Saat itu istilah negara mahasiswa sama sekali belum populer.
Satu-satunya kampus di Indonesia yang menerapkan sistem itu adalah IAIN Sunan
Kalijaga. Itupun baru hitungan beberapa bulan.
Dasar pemikiran negara mahasiswa atau pemerintahan mahasiswa
adalah mahasiswa memiliki otoritas penuh untuk menentukan ‘nasib’ sendiri tanpa
harus tunduk dengan otoritas pengelola kampus (rektorat, dekan, dsb) juga
pemerintah (Peraturan Menteri). Konsepnya dasarnya adalah penerapan trias
politika yang digagas oleh Jhon Locke dan Montesquieu.
Gagasan itu disampaikan oleh Eko Prastowo. Inspirasinya
mungkin berasal dari aktivis mahasiswa IAIN Suka yang sudah terlebih dahulu
menerapkan gagasan itu pada level praksis.
Awalnya saya tak pernah mengenal istilah trias politika itu.
Apalagi para penggagasnya. Namun beruntung saya sering mengunjungi Pepustakaan
Daerah yang terletak tak jauh dengan Kampus Pingit. Perpustakan Daerah itu jauh
lebih sering saya kunjungi dibandingkan kunjungan saya di ruang kuliah. Saya
sering menghabiskan waktu seharian penuh untuk mengunyah aneka buku di
Perustakaan itu. Lewat beberapa literatur yang saya dapat di perpustakaan itu, akhirnya
saya jadi tahu tentang konsep-konsep tata negara.
Trias politica adalah sebuah sistem pemerintah yang dapat
menyeimbangkan kekuasaan dalam sebuah negara. Kekuasaan dibagi menjadi 3 yaitu
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Maka para senator terpilih kemudian intens mendiskusikan rencana
perombakan besar-besaran terhadap tatanan organisasi kemahasiswaan di
Universitas Janabadra. Perombakan itu sangatlah fundamental. Organisasi
mahasiswa yang awalnya dikontrol penuh oleh kampus, akan dirubah menjadi semacam
negara otonom yang memiliki minial 2 unsur kekuasaan yaitu eksekutif dan
legislatif.
Masalahnya, saat itu organisasi mahasiswa di UJB baru memiliki
satu lembaga saja, yaitu lembaga legislatif yang disebut Senat Mahasiswa.
Lembaga eksekutifnya belum ada. Masalah lainnya adalah, negara mahasiswa ini
juga perlu diberi nama.
Maka disusunlah sebuah rencana yang lebih rinci. Hal pertama
yang dilakukan adalah mencari nama untuk negara mahasiswa itu. Jika di IAIN disebut
Keluarga Mahasiswa IAIN Suka. Maka di UJB kita sepakat memberinya nama KBM-UJB,
Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Janabadra.
Teman-teman kemudian sepakat untuk membentuk dua lembaga yaitu untuk mengelola KBM-UJB. Lembaga
legislatif yaitu Senat Mahasiswa UJB (SM-UJB) serta lembaga legislatif yang
disebut Badan Eksekutif Mahasiswa UJB (BEM-UJB). Tugas SM-UJB adalah membuat peraturan yang
diperlukan sedangkan BEM-UJB bertindak seperti presiden yang berfungsi
mengelola aktivitas organisasi kemahasiswaan.
Untuk merealisasikan konsep ini memang tidak mudah. Selain
belum ada satupun kampus di Indonesia yang menerapkan sistem seperti ini selain
IAIN Sukijo, kamipun harus menghadapi penolakan dari berbagai pihak. Ya
rektorat, ya aktivis kampus. Kami tak terlalu menggubris penolakan dari
rektorat. Kami fokus melakukan sosialisasi perlunya konsep baru ini kepada
aktivis kampus. Dan alhamdulillah walaupun para senator ini belum dilantik, mereka
mampu meyakinkan para aktivis kampus yang semula menolak untuk kemudian menerima
dengan lapangan dada gagasan ini.
Tugas selanjutnya adalah merancang Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga KBM UJB. Ditemani dengan mesin tik Royal, AD/ART KBM-UJB
pun kami susun. Setelah jadi kami sahkan. Setelah itu menggelar pemilu untuk
memilih Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa yang disebut dengan istilah Presiden
KBM-UJB. Hasil pemilu menentapkan Riyeke Ustadiyanto sebagai Presiden KBM UJB
pertama.
Dengan pembentukan Badan
Eksekutif dan terpilihnya Riyeke sebagai Presiden, maka sempurnalah tata
organisasi ‘kenegaraan’ KBM UJB. Di bawah KBM-UJB inilah seluruh aktivitas
kampus, baik kegiatan di UKM maupun kegiatan di Fakultas-fakultas di
koordinasikan. Lalu apa aktivitas Senat Mahasiswa?
bersambung.....
Beni Sulastiyo,
Pontianak, 27 Desember 2016
bersambung.....
Beni Sulastiyo,
Pontianak, 27 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ada Komentar?