Bagian III dari 4 Tulisan
Aksi 20 Mei 1998 adalah sebuah aksi yang sangat spektakuler.
Saat itu ada ratusan ribu bahkan bisa jadi jutaan rakyat, pemuda dan mahasiswa
turun ke jalan demi menuntut lengsernya Soeharto. Hampir seluruh kampus menurunkan
mahasiswanya. Tak ketinggalan organisasi kemahasiswaan, organisasi masyarakat
dan masyarakat kampung. Bahkan organisasi kepemudaan bentukan ORBA seperti KNPI
juga terlibat dalam aksi besar itu. Saat itu massa aksi memenuhi jalan-jalan di
Kota Yogyakarta. Melakukan long march secara damai menuju alun-alun utara.
Pada saat yang sama ada digelar pula satu aksi yang berbeda.
Yaitu aksi yang dilakukan di bundaran UGM. Aksi massa yang digelar di UGM itu di
setting oleh aktivis kampus UGM dan UII. Tokoh nasional yang hadir pada saat
itu adalah Amin Rais. Amin Rais adalah salah satu tokoh yang sering
melontarkan kritikan terhadap Soeharto. Kata-kata reformasi menurut beberapa
teman, berasal dari olah pikirnya.
Namun massa aksi di bundaran UGM itu jauh lebih kecil
dibanding aksi yang digelar di Alun-alun Utara Yogyakarta. Khabarnya jumlah
masa aksi di bundaran UGM hanya belasan ribu saja. Dan semuanya adalah
mahasiswa yang berasal dari UGM dan UII. Sedangkan jumlah masa aksi di Alun-alun
Utara ratusan ribu bahkan menurut beberapa pengamat mencapai satu juta orang.
Aksi tanggal 20 Mei 1998 itu sesungguhnya adalah sebuah
keberhasilan konsolidasi gerakan mahasiswa yang sangat membanggakan. Dan KBM
UJB memiliki kontribusi sangat besar dengan proses konsolidasi itu. Mewakili
KBM-UJB Senat Mahasiswa UJB sangat intensif menjalin komunikasi dengan
kampus-kampus besar demi menyiapkan aksi rakyat yang menuntut lengsernya
Soeharto.
Di bawah bayangan intimidasi aparat terhadap aksi-aksi
mahasiswa dan di bawah bayangan intel-intel aparat yang berkumis tebal, kami
melakukan berbagai pertemuan antar aktivis lintas kampus.
Bersama Eko Prastowo saya terlibat dalam pertemuan-pertemuan
tersembunyi itu. Kami melakukan serial pertemuan yang intensif dengan
Ketua-ketua Senat Kampus lainnya. Dengan La Ode Ridaya (Ketua SM UGM), Ridwan
Baswedan (Ketua SM UII), Cahyadi (Ketua SM Universitas Muhammadiyah), Rozaki
(Ketua SM IAIN SUKA), Yudhi (Ketua Senat UPN Yogyakarta) serta beberapa aktivis
kampus lainnya seperti Atmajaya, APDN, IKIP Yogyakarta (sekarang UNY). Namun
pertemuan yang paling intensif dilakukan bersama IAIN, UII, UGM, UPN dan UMY.
Sementara teman-teman P3Y juga tak kalah intensif
mengorganisir masyarakat Yogayakarta untuk melakukan perlawanan terhadap Rezim
Order Baru. Ada yang diberinama Mas Wiranto, Masyarakat Wirobrajan Anti
Soeharto. Ada yang diberinama Laskar Witotomo, dsb.
Proses konsolidasi yang dilakukan secara senyap itu
bertujuan untuk menggelar aksi besar dengan satu agenda: menuntut turunnya Soeharto.
Hasil dari proses konsolidasi itu adalah kami semua sepakat untuk menggelar aksi bareng. Namun masih belum sepakat dimana dan kapan waktu yang pas.
Hasil dari proses konsolidasi itu adalah kami semua sepakat untuk menggelar aksi bareng. Namun masih belum sepakat dimana dan kapan waktu yang pas.
Kami juga melakukan pertemuan intensif dengan Sultan HB X
serta adik Sultan, Gusti Joyo untuk meminta agar Sultan dapat mengambil posisi
bersama rakyat menyuarakan tuntutan agar Soeharto segera lengser dari
kekuasannya. Pertemuan dengan Sultan HB X dan Gusti Joyo juga dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Saat itu Sultan dan keluarga Kraton Yogyakarta masih belum
bersikap atas situasi nasional yang terjadi. Namun dari beberapa kali pertemuan, keberpihakan Sultan dan Kraton terhadap aspirasi mahasiswa semakin
menggembirakan.
Seiring dengan respon positif tersebut, kami juga semakin
intensif menggalang konsolidasi gerakan lintas kampus. Beberapa aksi besar
berhasil digelar secara terbuka. Tak lagi berada dalam pagar kampus. Tapi
jalanan.
Aksipun digelar di jalan-jalan protokol depan Kampus IAIN, di UJB, di Atmajaya dan di Jalan depan Kampus Muhammadiyah. Seluruh aksi yang digelar tersebut sudah tak lagi mengatasnamakan kampus. Melainkan mengatasnamakan mahasiswa dan rakyat. Organisasi mahasiswa juga seakan telah melebur.
Aksipun digelar di jalan-jalan protokol depan Kampus IAIN, di UJB, di Atmajaya dan di Jalan depan Kampus Muhammadiyah. Seluruh aksi yang digelar tersebut sudah tak lagi mengatasnamakan kampus. Melainkan mengatasnamakan mahasiswa dan rakyat. Organisasi mahasiswa juga seakan telah melebur.
Saat itu sudah sulit membedakan mana aktivis kampus dan mana
aktivis jalanan. Atribut kampus seperti jaket almamater tak pernah digunakan. Hanya
dua kampus saat itu yang selalu menggunakan atribut kampus berupa jas almamater
saat menggelar aksi, yaitu UGM dan UII. Diluar itu semua telah membaur, melepas
identitas kemahasiswaan mereka.
Lewat rencana aksi itupula saya semakin banyak bersentuhan
dengan tokoh-tokoh aktivis mahasiswa jalanan yang tergabung dalam P3Y. Selain
Heri Sebayang, Hary Wisnuadji dan Eko Prastowo dari UJB ada Hasto dan Wisnu
Agung (Bagong) dari Atmajaya. Lalu ada Luthfi, Farhan, Laluk Laduni dari IAIN
Sukijo. Juga Gunawan dari UMY, serta beberapa tokoh lainnya.
Bahkan dalam beberapa kali aksi demonstrasi, saya terlibat
dalam proses perancangannya mulai dari diskusi, merumuskan issue, membuat
statement (pernyataan sikap), menjadi korlap, hingga membuat rilis-kronologis
dan menyebarkannya keberbagai media cetak. Beberapa kali aksi seringkali
berujung bentrok dengan aparat.
Diluar aksi-aksi yang digelar oleh kampus-kampus di atas
yang berkolaborasi dengan aktivis jalanan yang tergabung dalam P3Y, aksi-aksi
serupa juga digelar oleh Persatuan Rakyat Demokratik (PRD). DI Yogyakarta
mereka membentuk KPRP sebagai organ aksinya. Aksi-aksi yang mereka lakukan sangat
frontal. Dan selalu berakhir dengan bentrok, kerusuhan. Jika melihat prosesnya,
agaknya memang aksi-aksi yang dilakukan sengaja disetting bentrok.
aksi longmarch rakyat jogjakarta menuju Alun-alun Utara tanggal 20 mei 1998 |
Aksi mereka yang paling besar adalah aksi menjelang
lengsernya Soeharto yang mengakibatkan tewasnya beberapa orang mahasiswa di
Jalan Gejayan. Saat itu Jalan Gejayan berubah bagaikan medan perang yang
mencekam. Toko-toko tutup, batu-batu berseliweran, ban-ban terbakar berserakan
dijalan. Peserta aksi melempar aparat, dan aparat membalas melempar dan
mengejar peserta aksi. Lalu ada tembakan gas air mata, serta tembakan peluru
karet. Lalu diikuti oleh aksi penangkapan aktivis yang dibumbui dengan
pentungan, injakan sepatu lars dan pemukulan peserta aksi.
Setiap aksi yang dilakukan KPRP, biasanya selalu diikuti
dengan sweeping aparat diseluruh kampus di Yogyakarta. Aktivis mahasiswa yang
tak terlibat aksi rusuh itu ikut-ikutan diteror. Termasuklah aktivis SM-UJB. Lalu
setelah itu, selama beberapa hari para aktivis mahasiswa di berbagai kampus
terpaksa harus bersembunyi ke berbagai tempat untuk menghindari penangkapan.
Dalam situasi hingar bingar aksi tersebutlah rencana aksi
besar digagas oleh teman-teman aktivis mahasiswa KBM-UJB bersama elemen pergerakan
mahasiswa lainnya. Momentumnya adalah hari kebangkitan nasional.
Tak mudah memang merancang aksi yang bisa diikuti tak hanya
oleh elemen kampus, tapi juga masyarakat. Satu-satunya tokoh panutan yang dapat
menggerakan rakyat hanyalah Kraton Yogyakarta dengan Sultan HB X sebagai
pemimpin puncaknya. Atas dasar pertimbangan inilah, maka teman-teman sepakat
untuk mengajak Sultan berdiskusi demi membicarakan rencana aksi itu. Maka digelarlah
diskusi-diskusi sengan dengan Sultan HB X.
Suasana Alun-alun Utara pada tanggal 20 Mei 1998 |
Setelah beberapa kali pertemuan, akhirnya Sultan HB X menentukan sikapnya. Ia menyatakan diri
mendukung rencana aksi. Namun, ia perlu waktu untuk menentukan waktu yang
tepat. Karena ada berbagai prosesi kultural yang mesti ia lakukan demi mendapatkan
waktu yang pas. Karena mendapatkan lampu hijau itu, pertemuan lintas kampus
semakin intensif kami selenggarakan. Putaran pertemuan dilakukan mulai dari
IAIN, UGM, UII, UMY, Atmajaya, dan terakhir sekitar H-2 kalau tak salah
dilaksanakan di Kampus Pingit Universitas Janabadra.
Pertemuan terakhir yang digelar di Kampus Janabadra, Pingit terjadi
cukup hangat. UGM dan UII menyatakan sikap tak akan ikut serta dalam aksi besar
yang berpusat di alun-alun utara depan Kraton Yogyakarta. Padahal sebelumnya
sudah ada kesepakatan. Sultan pun sudah memberikan waktu yang pas untuk
menggelar aksi besar. Yaitu pada tanggal 20 Mei 1998. Terjadi perdebatan sengit
antara kawan-kawan dengan aktivis mahasiswa yang berasal dari UII dan UGM. Saya
sendiri terlibat adu mulut dengan Ketua Senat Mahasiswa S2 Universitas Gajahmada.
Saya lupa namanya. Namun saya sempat memaki aktivis tersebut dengan kata-kata
yang kasar karena ketidakkonsistenan mereka dalam bersikap.
Pertemuan di Kampus UJB itu dilakukan ditengah situasi
Jakarta yang tak tentu rudu. Orang-orang kepercayaan Soeharto mulai membelot.
Aksi mahasiswa di Jakarta semakin massif. Bahkan sudah mulai menduduki gedung
DPR/MPR demi menuntut mundurnya Soeharto.
Akhirnya pertemuan di UJB untuk merencanakan aksi tanggal 20
Mei tetap dilanjutkan. Minus teman-teman dari UII dan dari UGM tentu saja. Dua
kampus yang memiliki belasan ribu mahasiswa ini akan menyelenggarakan aksi
sendiri dengan bertempat di bundaran UGM Bulak sumur bersama Amin Rais, tokoh nasional
yang mereka idolakan.
Sementara puluhan kampus lainnya yang berhasil terkonsolidasi
lewat kerja siang malam, tetap konsisten menggelar aksi longmarch dari kampus
masing-masing menuju Alun-alun Utara Yogyakarta.
Aktivis jalanan yang tergabung dalam P3Y tampaknya juga
berhasil mengokonsolidasikan masyarakat umum. Berbekal statemen Sultan di media
yang menyatakan akan menerima aksi massa di Kraton, upaya penkonsollidasian
kekuatan rakyat oleh temen-temen P3Y, mendapat sambutan hangat dari masyarakat
Yogyakarta.
Pendek cerita, aksi massa tangga 20 Mei berhasil digelar.
Aksi tersebut diikuti oleh hampir seluruh kampus di Yogyakarta, termasuk juga
organisasi-organisasi masyarakat dan warga Yogyakarta. Untuk memimpin acara
tersebtu kawan-kawan sepakat memutuskan Bung Hasto, salah satu pentolah P3Y
sebagai Master of Ceremoni. Tak ada satupun tokoh yang melakukan orasi pada
kegiatan tersebut selain Hasto yang menjadi MC merangkap orator serta Sultan
yang pada saat itu membacakan Maklumat yang berisi penolakan terhadap Soeharto.
Keesokan harinya, malam tanggal
21 Mei 1998, Soeharto menyatakan diri mundur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ada Komentar?