Dalam sejarah politik di Indonesia kayaknya hanya ada 2 orang tokoh yang medapat tekanan politik begitu hebat gara-gara persoalan mulut. Orang itu adalah Gus Dur serta Ahok.
Lho, kok bisa?
Ya bisalah. Liat aja betapa banyak orang politisi yang ketakutan karena Gus Dur sering melontarkan si A korupsi, si B korupsi. Betapa banyak juga politisi senayan yang tersinggung karena Gus Dur pernah bikin statemen vulgar bahwa DPR RI seperti Taman Kanak-kanak. Walhasil para tokoh politik yang meras tersinggung dengan ucapan Gus Dur yang selalu kontroversial itu, melakukan manuver politik yang berujung pada pemberhentian dirinya dari Jabatan Preseden melalui Sidang Isimewa MPR tanggal 1 Agustus 2001.
Ahok juga begitu. Kalau lihat video-video nya politisi yang unik ini sering melontarkan statement yang tak kalah kontroversial lewat mulutnya juga, seperti saya pecat, brengsek, komunis, bajingan, bego’, hingga t*ik. Kalimat terakhir yang ia lontarkan adalah kalimat dibohongi pake Almaidah 51 yang kemudian memancing kemarahan ummat muslim Indonesia.
Bedannya antara Gus Dur dan Ahok adalah pihak yang menekan. Kalau Gus Dur ditekan oleh elit politik, sedangkan Ahok ditekan oleh ummat Islam. Hasil dari tekanan politik kepada Gus Dur berujung pada berakhirnya karir politik Guru Bangsa yang jenius itu, sedangkan hasil dari tekanan politik Ahok, hingga saat ini kita belum mengetahuinya. Tapi sepertinya ia sangat sulit melakukan konsolidasi politik dan pengembangan pencitraan dalam Pilkada Gubernur DKI gara-gara aksi jutaan orang di Ibukota tersebut.
Berbeda dengan kedua tokoh di atas. Presiden Jokowi cenderung lebih hemat berbicara. Padahal tekanan politik jelas-jelas menyerempet pada kekuasaannya. Aksi yang di arahkan ke Istana, serta keterlibatan beberapa elit politik dalam aksi bela Islam jelas-jelas berpotensi untuk dibelokkan demi menjatuhkan kekuasannya.
Yang menarik Jokowi tampak sangat menjaga mulutnya. Ia tampak hemat dalam memberikan statement terkait dengan kritik dan statement pedas yang dilontarkan para tokoh pengunjuk rasa dalam serial Aksi Bela Islam. Seingat saya hanya dua kali Jokowi mengeluarkan statement kontroversial. Yaitu beberapa hari sebelum aksi bela Islam 411 yang memancing emosi mantan Presiden SBY, serta tengah malam seusai aksi unjuk rasa tanggal 4 November.
Ia melontarkan pendapat bahwa ada aktor politik yang ingin melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah. Statemtnt itu tidak dilontarkan dalam nada marah. Datar-datar saja. Khas retorika Jokowi yang just slow wae.
Diluar statement itu sepertinya tak ada lagi statement yang keluar dari mulut Pak Jokowi yang memancing kotnroversi di elit politik atau masyarakat.
Diluar statement itu sepertinya tak ada lagi statement yang keluar dari mulut Pak Jokowi yang memancing kotnroversi di elit politik atau masyarakat.
Andai saja Jokowi tak bisa mengendalikan mulutnya, sehingga mengucapkan statement-statement kasar kepada para pihak yang menyerang dan mengkritik dirinya selama menangani kasus Ahok ini, bisa jadi nasib preseiden Jokowi tak lebih baik dari nasib Gus Dur atau Ahok.
Dari tiga tokoh itu kita bisa memetik pelajaran bahwa ternyata mulut adalah aset terpenting bagi seorang politisi. Mulut dapat menentukan karir seorang politisi.
Dan walaupun kau bukan seorang politisi, menjaga mulutmu tetap saja penting untuk kebaikan dirimu dan orang-orang sekitarmu.
Begicu kira-kira....
Begicu kira-kira....
Pontianak, 3 Desember 2016
_____________________
Bungben, SwadesiCoorp
_____________________
Bungben, SwadesiCoorp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ada Komentar?