Rabu, 28 Desember 2016

TERORIS INDONESIA BUKAN TERORIS?

Bertepatan dengan perayaan natal 2016, kita kembali dihebohkan dengan drama penangkapan terduga teroris di Kabupaten Purwakarta. Sebuah drama yang agak aneh. Karena dilakukan bertepatan dengan perayaan Natal umat Kristiani. Ntah apa tujuannya. Mungkin aparat pemerintah ingin memberikan rasa aman bagi ummat kristiani. Namun, kalau tujuannya ingin memberikan rasa aman mengapa tidak dilakukan penangkapan jauh hari sebelumnya?  Atau penangkapan itu sengaja dilakukan pada saat perayaan Natal. Biar bertambah hebboh? Hahaa, tak tahulah. Hanya Tuhan dan aparat saja yang tahu.
Entah sampai kapan aksi teror di Indonesia ini terus terjadi. Diantara negara-negara di Asia,  Indonesia memiliki ‘prestasi’ sebagai negara yang paling banyak diserang oleh teroris. Bayangkan saja dalam rentang waktu 36 tahun (1980 – 20016) telah terjadi 39 aksi teror di Indonesia. Dari 39 aksi teror, dua kali diantaranya terjadi dalam masa pemerintahan Orba, sedangkan sisanya, 37 kali, terjadi di era reformasi (tahun 2000 – 2016). https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme_di_Indonesia.
Dengan demikian, jika dibandingkan oada saat rezim Orde Baru, maka di masa reformasi ini telah terjadi peningkatan aksi teroris  kira kira 1800 % atau 18 kali lipatnya. Warrrbiasyah pemerintah di era reformasi ini!
Lalu dari seklian puluh kali aksi teror tersebut, sampai hari ini kita tak tahu tujuan politis dari serial serangan teror tersebut. Tak mungkinkan sebuah aksi yang dilakukan dengan begitu beresiko bagi para pelaku serta masyarakat sipil yang tak berdosa hanya bertujuan iseng saja? Aksi yang telah disepakati oleh parat sebagai aksi teror tersebut sudah pasti memiliki tujuan politik. Karena Indonesia dan juga masyarakat di seluruh dunia sudah sepakat bahwa aksi teroris adalah aksi yang bertujuan politik.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia misalnya, bangsa Indonesia sepakat mendefinisikan teroris sebagai orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya untuk tujuan politik. Tak berbeda jauh dengan definisi teroris di KBBI, dalam kamus  Webster’s New World College Dictionary (1996),  terorisme didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang memiliki elemen kekerasan, tujuan politik, dan teror/intended audience. ). Definisi yang diberikan kurang lebih sama juga disampaikan oleh US Federal Bureau of Investigation (FBI). Kata kuncinya adalah  adanya tujuan politik.
Tanpa tujuan politik sebuah kekerasan yang dilakukan hanya disebut sebagai aksi kriminal. Oleh karena itu perbedaan mendasar antara pelempar bom untuk menangkap ikan di laut dan pelempar bom di JW Mariot adalah tujuannya. Pelempar bom ikan di laut melakukan pelanggaran hukum dengan melempar bom untuk tujuan pribadi, sedangkan pelempar bom JW Mariot untuk tujuan politik. Maka pelempar bom laut disebut pelaku kriminal sedangkan pelempar Bom JW Mariot disebut teroris.
Yang menarik selama 37 kali serial bom dan belasan kali drama penangkapan teroris di Indonesia, sangat jarang kita dengar ikhwal tuntutan politik dari para pelaku. Apakah  ingin mendirikan negara islam, menuntut pemerintah agar berpihak pada orang Islam, atau meminta kepada pemerintah untuk merubah konstitusi negara agar berlandaskan kepada syariah Islam.
Tak ada tuntutan itu. Habis bom meledak, sudah selesai begitu saja. Tak ada yang melakukan klaim sebagai pihak yang bertanggung jawab lalu menyampaikan pesan politiknya kepada pemerintah atau masyarakat.
Padahal menurut keterangan aparat, para pelaku bom itu berasal dari kelompok-kelompok yang terorganisir. Kalau terorganisir, mestinya paska peledakan yang walaupun pelakunya mati di tempat, pengurus organisasi yang lain bisa menyampaikan pesan politik atas aksi yang telah mereka lakukan.
Nah, sedangkan dari setiap rangkaian peledakan bom tersebut rasanya tak ada tuntutan politik dari para pelaku. Oke mungkin mereka takut untuk menyampaikan pesan politiknya. Tapi masak sih? Lha bawa bom lalu mati bersama bom nya saja mereka berani kok. Masak sih menyampaikan pesan tuntutan mereka tak berani? Padahal sudah 37 kali lho serangan bom telah dilakukan. Demikkian pula, sudah belasan kali dilakksanakan sidang kasus terorisme. Tak ada pesan politik yang disampaikan sama sekali.
Penjelasan bahwa para pelaku teror tersebut memiliki agenda politik justru keluar dari aparatur negara. Misalnya setahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 23 desember 2015 POLRI melaui Kapolri Badrodin Haiti saat itu,  mengatakan bahwa saat ini terdapat 9 organisasi teroris yang beraktifitas di Indonesia. Ia lalu mempublish 5 diantaranya. Yaitu  Mujahidin Indonesia Timur, Mujahidin Indonesia Barat, Laskar Jihad, Jamaah Anshaarut Tauhid, dan Daulah Islamiyah Nusantara. Lalu Pemerintah Jokowi melalui dan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan pada saat yang sama mengatakan bahwa kelompok-kelompok teroris tersebut memiliki jaringan dengan ISIS yang berasal dari  dari Timur Tengah.
Nah melalui penryataan itu, seakan-akan seluruh aksi teroris dikaitkan dengan agenda ISIS. Kalau kita pelajari sepak terjang ISIS, organisasi ini memiliki agenda politik yang jelas yaitu negara Islam. ISIS adalah singkatan dari Islamic State of Iraq and Syria. Tujuan ISIS adalah mendirikan kekhalifaan Islam di dua negara yang sedang mengalami konflik, yaitu Iraq dan Syria. Saat ini negara baru tersebut belum resmi berdiri. Karena hingga saat ini belum ada satupun negara yang mengakui keberadaan negara yang mereka dirikan di dua negara yang sedang luluh lantak oleh perang tersebut.
Oke,  jika tujuan politik dari ke sembilan jaringan teroris tersebut berkaitan dengan ISIS, apakah merekak punya cukup energi untuk membangun wilayah gerakan hingga ke Indoensia? Lha wong di Syiria saja mereka kewalahan menghadapi pemerintah Bashar Al Assad, juga negara-negara Barat, kok sempat-sempatnya mikirin politik luar negeri dengan men-support organisasi teroris di Indonesia? Kayaknya gak masuk akal yah?
Lagi pula ISIS baru terbentuk pada tanggal 12 Oktober 2006. Lalu dengan siapakah kesembilan organisasi teroris di Indonesia itu melakukan 20 kali aksi teror, sebelum ISIS berdiri, sepanjang tahun 2000 hingga 2005?
Atau para teroris Indonesia memiliki tujuan politik sendiri. Mendirikan kekhalifaan Islam sebagaimana yang pernah dilansir oleh Pemerintah Australia, misalnya? Bisa jadi. Namun, dugaan pemerintah Australi tersebut sudah dibantah oleh Badrodin dan Luhut. Mereka meyakini ISIS tidak akan mendirikan kekhalifahan di Indonesia.
Nah, Lo!
Serial aksi teror di Indonesia ini memang sangat aneh. Sudah 37 kali terjadi aksi teror bom, sudah puluhan orang yang ditangkap, sudah belasan orang yang diadili dan dipenjara. Namun tetap saja teror berlangsung tanpa tuntutan tanpa tujuan. Organisasi yang disebut sebagai yang bertanggung jawab juga selalu berubah namanya. Tak pernah pula ada penjelasan yang disampaikan oleh para pelaku teroris tentang tujuan politik atas teror yang lakukan.
Moment-moment yang sangat aman untuk menyampaikan pandangan politik, seperti di pengadilan, juga tak pernah digunakan untuk melansir statement bernada politis dari pelaku teror. Pledoi dari Fahrudin alias Abu Zaid salah satu dari 30 terdakwa aksi teror bom thamrin, misalnya.  Sama sekali tak menyinggung persoalan tujuan teror. Ia hanya menyampaikan pembelaan secara tehnis bahwa ia tidak terlibat dengan kasus bom di depan Sarinah yang heboh tersebut. Padahal jika para terdakwa tersebut benar-benar teroris yang melakukan aksi dengan tujuan politis, maka proses sidang yang menarik perhatian media nasional pastilah akan ia gunakan untuk untuk menyampaikan statement-statement yang bersifat politis. Demikian pula dengan puluhan terdakwa lainnya.
Oleh karena itu jika para pelaku teror tersebut tak memiliki tujuan politik, bisakah mereka disebut sebagai teroris? Atau sebenarnya mereka betul-betul teroris yang bertujuan ekonomis? Jika bertujuan ekkonomis, lalu siapakah sesungguhnya ‘teroris sejati’ dibalik puluhan serial aksi terkutuk di Indoensia itu?
Entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar?

ORANG JAWA LEBIH JAGO BERPOLITIK

Iseng-iseng otak-atik angka durasi umur negeri-negeri di Pulau Jawa. Kesimpulannya orang Jawa itu lebih jago berpolitik daripada orang ...