Rabu, 28 Desember 2016

DEMO YA DEMO, JUMATAN YA JUMATAN


Klo mau demonstrasi, demonstrasi aja. Mau dibundaran HI, bundaran menteng, depan Istana Negara, terserah itu dak masalah. Kapolri dak becik larang-larang rakyat untuk unjuk rasa. Mau issuenya tangkap Ahok atau turunkan Presiden. Biarin aja. Ngapain dilarang-larang. Kan ini negara demokrasi. Yang penting gak rusuh.
Kalau ada niat buat jatuhkan pemerintah ya santai aja. Kan baru niat. Nah kalau memang dilaksanakan beneran ya liat dulu. Kalau sekedar aspirasi ketidakpuasan, masak ga boleh. Kalau sudah menjadi gerakan politis yang bersinergi dengan lembaga politik negara, maka tentu harus diselesaikan secara politis. Tapi ya jangan pake pelarangan-pelarangan. Kalau langkah politik pihak yang di demo maknyus, kenapa harus takut dengan sebuah aksi unjuk rasa?
Nah , yang mau demonstrasi menurutku juga jangan kebablasan. Misalnya dengan cara menggelar shalat jumat di jalan ibu kota. Wah itu kayaknya kurang becik juga.
Yang kemarin-kemarin itu sudah benar. Shalat Jumat ya di Masjid. Habis itu baru turun unjuk rasa. Jangan dicampur-campur.
Saya khawatir aja sih. Nanti model kayak gini, shalat jumat di jalan habis itu unjuk rasa, dijadikan modus para politisi kita hingga ke pelosok desa. Lalu muncul kebiasaan baru yaitu menjadikan ibadah ritual-keagamaan sebagai media untuk ngurusin hal-hal yang terkait-kait persoalan politis.
Lho ini kan bukan aksi politik. inikan aksi bela agama.
Iyaaa. Oke. Tapi, dimana-mana unjuk rasa itu adalah instrumen warga negara untuk menekan kebijakan pemerintah. Nah, pemerintah itukan kelengkapan politik kenegaraan. Makanya apapun alasannya, apapun labelnya, sebuah unjuk rasa itu tak akan pernah bisa lepas dari persoalan politis.
Nah kalau pola unjuk rasanya menggunakan momentum shalat jumat di jalan protokol, habis itu demo, ini yang mungkin perlu ditimbang-timbang lagi baik buruknya. Alasannya ya itu tadi, saya khwatir di masa yang akan datang, shalat jumat yang sakral itu malah dijadikan media politis. Shalat Jumat dijadikan media buat ngumpulin orang di jalan-jalan. Lalu khutbahnya jadi khutbah politik, habis shalat orasi politik lalu hadirin shalat Jumat diajak turun aksi. Hihiii.
Setelah itu kreativitasnya nambah. Lalu orang-orang hingga di pelosok desa meniru cara itu dengan lebih menyederhanakan strateginya. Tak perlu gelar shalat jumat di jalan. Kurang efisien. Cukup diprovokasi di masjid saja. Momentnya sama. Moment shalat jumat! Kan masjid pasti ramai. Habis shalat jumat ajak majelis shalat unjuk rasa ke Kantor Bupati, Kantor Walikota, Kantor Camat, Kantor Kepala Desa.
Akhirnya dimana-mana shalat jumat berubah menjadi media provokatif-politis. Wow!
Lalu sekian tahun berikutnya, tak terasa masjidpun lalu terpecah jadi tiga kelompok, 'masjid oponen' yaitu masjid yang jamaah shalat jumatnya selalu menekan pemerintah yang berkuasa. 'Masjid proponen', yaitu masjid yang selalu berpihak pada pemerintah. Dan terakhir 'masjid sepiman, yaitu masjid yang setiap shalat jumatnya sepi, bro!
Jamaahnya tak suka shalat jumat di Masjid itu karena masjid itu tak mau mengikuti trend sebagai 'masjid demonstran' yaitu masjid yang suka melakukan unjuk rasa paska shalat jumat. Karena tak mau mengikuti trend lalu dianggap masjid kuno. Sehingga akhirnya masjidnya ditinggalin jamaah. Masjidnya jadi sepi, man!
Heheee ngade-ngade, jak! Astagfirullah!
----------------------------
Bungben, swadesicoorp,ptk 26122016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar?

ORANG JAWA LEBIH JAGO BERPOLITIK

Iseng-iseng otak-atik angka durasi umur negeri-negeri di Pulau Jawa. Kesimpulannya orang Jawa itu lebih jago berpolitik daripada orang ...