Bagian IV dari 4 tulisan (Habis)
Setelah lengsernya Soeharto. Kegiatan Senat Mahasiwsa mengalami
anti klimaks. Kami hanya nongkrong di kampus. Ada perasaan yang hambar
menyelimuti jiwa kita saat itu. Mengapa Soeharto terlalu cepat turun.
Namun demikian, ada juga perasan gembira karena tuntutan
mahasiswa dan seluruh rakyat telah mencapai tujuannya.
Setelah beberapa bulan lengsernya Soeharto, terjadi
pergolakan politik di Jakarta. Habibie yang saat itu menggantikan Soeharto
dianggap sebagai bagian antek-antek ORBA. Mahasiswa di Jakarta saat itu
kemabali menggelar aksi demonstrasi menuntut Habibie mundur pula dari tampuk kekuasannya.
Sementara itu aktivis mahasiswa di Yogyakarta lebih memilih calling down.
Di KBM UJB misalnya cenederung berpikir untuk segera
melakukan kaderisasi. Lalu disusunlah rencana untuk melakukan kaderisasi.
Kurikulum kaderisasipun dirumuskan. Pintu masuk kaderiasi adalah OSPEK. Namun
karena penuh dengan nuansa eksploitatif, SM UJB lalu memutuskan untuk menghapus
OSPEK. Kegiatan itu diganti dengan istilah baru. Saya lupa namanya. Yang jelas
isi dari kegiatan itu jauh dari upaya untuk membully mahasiswa baru. Kegiatan
itu didominasi oleh aktivitas diskusi dan aksi demonstrasi.
Mereka yang menonjol kemudian di dekati lalu diajak diskusi.
Setelah itu diikutkan dalam berbagai kegiatan di kampus dan ekstra kampus.
Beberapa orang diantaranya difasilitasi tempat kontrakan namanya Roemah
Pemoeda. Di tempat itulah pertukaran gagasan dan pengembangan semangat
pergerakan ditanamkan. Di kampus dilakukan juga proses pengkaderan formal.
Kurikulum lebih dominan pengembangan mental pergerakan serta intelektual.
|
beberapa aktivis yang ketangkap kamera saat menghadiri saya wisuda akhir 99 |
Proses pengkaderan hybrid tersebut ternyata menghasilkan
aktivis-aktivis mahasiswa yang cemerlang. Tokoh-tokoh yang masih saya ingat
adalah Resha Sasongko, Jemmy Setiawan, Roni Sumbayak, Aris Sustiyono, Mujib,
Imam Setiyadi, Daniel F Lolo, Bonek, Frans, Amalaul Mahdi dan aktivis perempuan
di kampus UJB yang juga bisa mewarnai gerakan mahasiswa jogja saat itu. Ada
beberapa orang yang saya masih ingat seperti Rina, Tanti, Tabitha, Elsa, Putri,
dsb.
Aktivitas kemahasiswaan dan pergerakan mahasiswa di UJB tetap
gayeng ditangan para aktivis baru yang tak kalah militan, cerdas dan berdaya
komunikasi cemerlang itu
Mereka adalah aktivis yang unik. Mereka tak hanya aktif di
kampus sebagai pengurus dibeberapa organisasi kemahasiswaan internal kampus.
Namun juga intensif membangun aliansi dengan organisasi-orgnaisasi
kemahasiswaan di luar UJB. Peran mereka sangatlah signifikan. Beberapa aksi
besar yang melibatkan peserta aksi lintas kampus adalah hasil dari kerja-kerja
pergerakan mereka.
Nah ditengah sepinya pergerakan dan fokusnya temen-temen
melakukan kaderisasi di KBM UJB, sedang terjadi polemik kepemimpinan daerah di
Provinsi Yogyakarta. Masyarakat DIY, khususya anggota DPRD Provinsi kebingungan
bersikap setelah mangkatnya Sri Paduka Paku Alam VII.
Sri Paduka PA VIII semula menjabat Wakil Gubernur DIY mendampingi
Sultan Hamnegkubwono IX. Pada tahun 1988
Sultan HB X wafat. Maka jabatan Gubernur dirangkap oleh Sri Paduka Paku Alam
VIII. Jabatan itu ia emban tanpa Wakil Gubernur.
Lalu pada akhir 1998 tepatnya tanggal 11 September, Sri
Paduka Paku Alam VIII wafat. PRovinsi DIY mengalami kekosongan kepala pemerintahan.
Situasi ini membuat DPRD DIY kebingungan mengambil sikap. Penetapan
HB IX dan Sri Paduka PA VII sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY berdasarkan
UU No. 5/ 1974. Dalam UU itu hanya diatur bahwa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
DIY adalah HB IX dan Sri Paduka PA VII. UU itu tidak mengatur suksesi
kepemimpinan setelah HBX IX dan SPPA VIII. Berbagai wacana tentang metode
pemilihan Gubernur DIY pun bergulir.
Beberapa anggota DPRD Provinsi meminta
agar DPRD DIY segera menetapkan dan melantik HB X sebagai Gubernur DIY.
Sebagian yang lain menolak ide tersebut. Gubernur DIY harus dipilih melalui
voting oleh anggota DPRD sebagaimana provinsi-provinsi lainnya.
Polemik tersebut memancing friksi dikalangan masyarakat.
Namun aspirasi masyarakat Yogyakarta sebagaina besar menginginkan agar DPRD
Provinsi menetapkan HB X sebagai Gubernur. Tanpa melalui pemilihan. DPRD
Provinsi menolak karena hal tersebut tak memiliki dasar legalitas yang jelas.
Lalu terjadi protes dari masyarakat.
Eko Prastowo mengajak saya untuk mendiskusikan persoalan itu
untuk menentukan sikap serta mempertimbangkan kontribusi apa yang bisa
diberikan dalam polemik tersebut. Saya pribadi berpikiran bahwa persoalan itu adalah
persoalan politis yang tak baik dicampuri oleh gerakan mahasiswa. Namun,
sebagai kawan saya siap membantu apabila sebagai warga asli Yogyakarta, ia
ingin melibatkan diri dalam gejolak itu.
Maka sayapun membantu EP untuk mengorganisir masyarakat
Yogyakarta agar menolak pemilihan Gubernur oleh Anggota DPRD Provinsi DIY. Dibantu oleh beberapa aktivis UJB lainnya kami
menginventarisir elemen-elemen masyarakat yang menginginkan HB X ditetapkan
sebagai Gubernur DIY.
Singkat cerita seluruh elemen itu disatukan lalu diberinama
baru, kalau tak salah namanya Gerakan Rakyat Yogyakarta (GRY). Lewat aneka
pertemuan yang dipimpin oleh bung EP, seluruh elemen masyarakat tersebut
sepakat untuk menduduki DPRD DIY sampai DPRD DIY mengakomodir aspirasi mereka.
Maka terjadilah aksi pendudukan Ruang Sidang DPRD DIY oleh
ratusan masyarakat. Mereka betul-betul dari masyaraka lapis bawah. Ada yang berasal
dari paguyuban tukang becak, pedagang kaki lima, pedagang pasar tradisional,
tukang parkir, bahkan preman-preman kelas bromocorah.
Saya membantu bung EP untuk mengurus kebutuhan logistik
mereka. Mencari bantuan untuk nasi bungkus, menyiapkan minuman dsb. Saya juga turut
serta menemani bung EP dalam setiap diksusi yang diselenggarakan. Merumuskan
hasil diskusi hingga membuat statement untuk dirilis di media massa.
Beberapa orang bahkan saya bantu untuk mencarikan pekerjaan.
Salah satu orang yang saya bantu kemudian membawa lari motor saya. Hahaa…luar
biasa juga pergulatan membela RAKJAT saat itu.
Walaupun demikian aksi pendudukan dalam waktu sekitar satu
bulan itu, membuat DPRD DIY melunak. Akhirya DPRD Provinsi DIY melakukan Sidang
lalu secara aklamasi menetapkan HB X sebagai Gubernur DIY. Massa bersorak
gembira. Sementara saya sibuk mencari orang yang telah melarikan motor saya.
Setelah Kasi pendudukan DPRD DIY itu, saya semakin intensif
menyelesaikan skripsi saya. Tak sampai satu bulan skripsi selesai. Akhir tahun
1999 saya berazam untuk menyelesaikan studi saya yang sudah sangat telat. Masak
kuliah S1 sampai 7 tahun. Gendeng.
Di sela-sela penantian wisuda saya mengurus bisnis dan
sesekali mengikuti diskusi dengan teman-teman aktivis di UJB dan aktivis
pergerakan di P3Y. Proses pengembangan dunia pergerakan di UJB jarang saya
ikuti. Sudah semankin banyak aktivis mahasiswa yang berhasl direkrut menjadi
aktivis pergerakan saat itu. Yang masih intens ngelonin para aktivis baru itu
adalah Bung EP serta aktivis mahasiswa angkatan 96/97. Di Fakultas Hukum muncul
tokoh-tokoh pergerakan baru yang cerdas dan progressif. Ada Jimmy Setiawan (’96)
dan Resha Sasangko (97). Lalu seangkatan dengan Resha ada Elsa, Tabitha, Bonek,
Putri, Nur Ahmad, dsb. Di Fakultas Ekonomi ada Roni Sumbayak, Anggoro (Kaslog),
Mudjib, Hardjono, Aris Sustiyono, Imam Setyadi, Opal, Tanti, Gombloh, dsb.
Ditangan mereka dinamika pergerakan mahsiswa dan aktivitas
kemahasiswaan di kampus tak kalah maraknya. Ada dua kejadian besar sebelum saya
meninggalkan Kota Jogja pada tahun 2000. Pertama terjadi tawuran antar kampus
antara UJB melawan UII yang terjadi pada bulan oktober 1998. Lalu aksi
kekerasan yang menimpa peserta aksi dari mahasiswa UJB, IAIN dan beberapa
kampus lain yang dilakukan oleh Gerakan Pemuda Ka’bah. Kedua peristiwa itu lain
waktu akan saya paparkan.
Sekarang udahan dulu yak. Oya sebelum menutup tulisan ini
saya mohon maaf jika ada informasi dan data yang tidak lengkap. Terus terang
saya begitu kesulitan untuk merayapi memori masa lalu. Mahasiswa 90an seperti
saya juga terdidik menjadi mahasiswa yang tak romantis. Makanya tak pernah
menulis buku harian seperti aktivis 66 atau anak-anak ABG.
Namun, setelah
mempertimbangan kebaikan untuk sesama (heheee), sayapun memaksa diri untuk
bersikap romantis-romantis sitek. Dan upaya romantika yang hanya mengandalkan memori
terbatas ini sungguh membuat saya tersiksa. Hahaaa.
Jayalah mahasiswa! Untuk
negerimu, demi bangsamu!
Beni Sulastiyo,
Pontianak, 27 Desember 2016