Kamis, 16 Januari 2014

Gagal itu Pilihan

Beberapa hari yang lalu, dengan sangat terpaksa, kami memberhentikan seorang karyawan. Sebuah keputusan yang sangat jarang kami lakukan.
Karyawan itu sebut saja Timun namanya.

Timun masih dalam tahap karyawan percobaan. Ia masih muda baru seumur anak kelas 3 SMA.

Tradisinya setiap anggota baru dalam perusahaan kami, harus melewati waktu 3 bulan percobaan. Gaji yang diberikan juga berada di bawah UMR. Namun, saya dan teman-teman tetap memikirkan agar si Timun bisa mendapatkan penghasilan tambahan dengan memanfatkan keahlian yang ia punya.
Kebetulan ia memiliki keahlian dalam bidang sablon menyablon. Lalu kamipun membelikan peralatan sablon agar dapat dipergunakan untuk menambah penghasilannya.

Pada bulan pertama, saya melihat ia punya kebiasaan yang buruk. Ia sulit bangun pagi. Ia selalu masih mendengkur ketika kantor sudah dipenuhi oleh karyawan. Saya sering memberi peringatan terkait dengan kebiasaan buruknya tersebut. Namun, kami yakin kebiasaan itu bisa diperbaiki. Oleh karena itu hampir setiap hari saya dan teman-teman rela melakukan pekerjaan tambahan; membangunkan ia tidur. Timun memang diperbolehkan tidur di kantor, karena tempat tinggal yang jauh dan tak memiliki kendaraan. Sehingga kami bisa mengetahui kebiasaan buruknya tersebut.
Singkat cerita Si Timun bisa mengurangi kebiasaan buruknya tersebut. Lewat sablonan iapun bisa mendapatkan tambahan 30% dari gaji percobaannya. Namun, kebiasaan buruk bangun siang belum hilang.

Pada bulan kedua dan ketiga si Timun mulai bikin ulah. Ia tidak hanya masih sering mendengkur di siang hari, iapun mulai sering meninggalkan tugas utamanya dalam bidang finishing, dan lebih memilih aktivitas sablon. Ia berpikir, sablonan memberikannya pendapatan tambahan. Sedangkan pekerjaan finishing tak memberikan pendapatan apa-apa. Saya mengamatinya dan berusaha memperbaiki pola pikirnya yang salah. Saya selalu mengatakan bahwa tanggung jawab utamnya adalah membantu proses finishing hasil cetakan. Sedangkan sablon itu pekerjaan sambilan yang memberikan tambahan penghasilan. Bahkan saya bilang pada si Timun bahwa kita berencana membuat industri sablon yang lebih modern dengan dukungan peralatan dan bahan bahkan yang lebih baik. Si Timun akan memegang unit itu jika ia dapat memperbaiki tradisi kerjanya dan menambah pengetahuan dan keterampilan dalam bidang sablon menyablon.
Saya mengamati perkembangan kerjanya untuk mengetahui apakah pola pikir yang saya berikan masuk dalam akalnya. Kesimpulannya, pola pikir itu tak masuk dalam akalnya. Si Timun tetap bangun siang, tetap meninggalkan tanggung jawabnya. Dan belakangan ia mengeluh bahwa pendapatannya terlalu rendah. Bahkan ia mulai tak bersemangat melakukan pekerjaan sablonan yang dapat memberikan tambahan pendapatannya. Ia pernah mengeluh dengan rekan-rekan bahwa tambahannya dari kerjaan sablon itu tak seberapa.

Saya melihat bahwa kini persoalan Timun bukan lagi persoalan kebiasaan, tapi persoalan pola pikir.  Dahulu kami belajar jatuh bangun. Dan mengeluarkan biaya yang tak sedikit sekedar untuk mengetahui apa itu bisnis, dan sekedar ingin mendapatkan pengetahuan baru. Kini dari pengetahuan itu kami dapat menghasilkan banyak hal sehingga dapat membuat sebuah perusahaan yang dapat menjadi sumber penghasilan bagi cukup banyak kawan. Sedangkan Si Timun itu malah kami bayar agar mau belajar. Tapi karena ia malas, proses pembelajarannya tak menghasilkan pengetahuan apa-apa selain uang. Ia menganggap uang dapat memperbaiki nasibnya. Padahal yang memperbaiki nasib manusia itu adalah pengetahuan tentang proses kerja sunatullah yang dilandasi oleh kepercayaan tentang keberadaan Nya. Dan ketika kita ingin memperbaiki pendapatan kita, maka kita harus memperbaiki pengetahuan dan mental kita.

Si Timun berada dalam kubangan lumpur pemikirannya sendiri. Dan karena lumpurnya bisa mengotori lantai dan rekan-rekan sejawatnya, kamipun mengatakan padanya bahwa kami tidak bisa bekerjasama dengan orang yang tak mau belajar dan tak mau memperbaiki diri.  Dan sebaiknya ia mencari pekerjaan di tempat lain saja.

Saya memetik pelajaran dari si Timun, bahwa kegagalan itu bukanlah sebuah nasib. Namun kegagalan itu adalah persoalan pola pikir. Persoalan mindset. Oleh karena itu masalah kaya atau miskin itu juga bukan persoalan nasib, tapi persoalan pilihan dalam menggunakan pola pikir. Mereka yang kini hidup miskin karena memilih pola pikir orang miskin; tak mau belajar, suka mengeluh, tak pandai bersyukur, tak mau memperbaiki diri, malas bekerja, dsb. Sedangkan berdasarkan pengamatan, mereka yang hari ini dapat hidup lebih baik memiliki khatakter yang berbeda; pantang mengeluh, tak pernah berhenti belajar, selalu memegang komitment, kekeh menjaga kredibilitas, dan selalu bekerja keras.

Dan oleh karenanya, kaya atau miskin, gagal atau sukses itu adalah sebuah pilihan. Jadi sekarang sile jak dipileh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar?

ORANG JAWA LEBIH JAGO BERPOLITIK

Iseng-iseng otak-atik angka durasi umur negeri-negeri di Pulau Jawa. Kesimpulannya orang Jawa itu lebih jago berpolitik daripada orang ...