Penyusunan basis hukum pengembangan ekonomi Islam oleh para ulama belakangan ini sepertinya sudah sangat memadai. Sayangnya praktek bisnis berbasis nilai-nilai dan berbasis hukum islam masih belum terlalu banyak. Oleh karena itu, sebagai pengusaha yang meyakini kesempurnaan nilai-nilai ajaran Islam saya pikir perlu diupayakan dengan cara-cara eksperimentatif, demi mencari pola yang pas antara nilai dengan situasi kekinian dan untuk mendekatkan antara landasan teoritik yang telah disusun oleh kalangan cerdik pandai muslim dengan praktek di dunia nyata.
Di masa yang akan datang kita berharap kita mampu menjawab pertanyaan masyarakat yang ingin mengetahui praktik berbisnis islami dalam keseharian.
Konsep Dasar Bisnis Berjamaah
Sebagaimana pula aktivitas shalat berjamaah, maka bisnis berjamaah memerlukan seorang imam dan minimal seorang makmum. Tanpa makmum tiada imam, demikian pula tiada imam tak ada makmum. Sang imam ditentukan berdasarkan kesepakatan makmum berdasarkan kriteria yang disusun bersama. Namun sebagai referensi umum tentu saja seorang imam yang akan kita pilih harus memiliki ilmu dan pengalaman yang lebih baik dari makmumnya. Ia harus fasih dengan bisnis yang akan digelutinya. Di luar itu yang terpenting adalah sang imam haruslah memiliki jiwa kepemimpinan. Minimal ia bisa mengatur barisan, memberikan aba-aba atau perintah untuk bergerak, memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik serta ikhlas untuk memikirkan atau mendoakan semua makmum yang mengikutinya. Imam bisnis yang baik akan selalu mendoakan dengan ikhlas kebaikan bagi makmumnya, memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh makmum dan siap menolong jika ada makmum yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas. Imam yang baik harus punya keikhlasan untuk sewaktu-waktu menjadi makmum. Demikian pula seorang makmum sewaktu-waktu harus siap menjadi imam jika diperlukan.
Dalam dunia nyata seringkali kita menjumpai seorang pemimpin bisnis yang justru bersikap sebaliknya, ia enggan memikirkan atau mendoakan kebaikan bagi anak buahnya, bahkan cenderung tak suka dengan kemajuan atau kebaikan yang didapatkan anak buahnya. Ia lebih cenderung berdoa untuk kebaikan diri sendiri, ia hanya mau memikirkan kepentingan bagi dirinya saja dan tak mau sibuk memikirkan urusan makmumnya.
Seringkali kita jumpai pula seorang pengusaha muslim yang enggan menolong makmum/karyawan/mitra kerjanya. Mungkin ia adalah seorang ahli sedekah di majelis-majelis pengajian, tapi enggan berbagi keuntungan yang layak dengan makmum dalam bisnisnya. Jamak pula kita jumpai seorang pemimpin bisnis yang tak mau menggerakan makmumnya sehingga makmumnya tak tahu harus melakukan apa dan kapan. Sang imam juga tak pernah mau menjadi makmum dan enggan menyerahkan kepemimpinannya kepada makmumnya. Di masjid dia siap jadi imam dan makmum, sedangkan di organisi bisnis dia tak mau bekerja kalau tidak jadi imam.
Kedua, bisnis berjamaah bisa dimulai oleh siapapun. Artinya bisa dimulai oleh seorang yang memiliki misi bisnis, lalu mengumpulkan satu orang atau lebih untu menjadi makmum. Dan bisa juga dimulai oleh beberapa orang lalu bersepakat untuk menunjuk seorang imam atau pemimpin. Saat ditunjuk, sang pemimpin menjalankan amanah sebagai leader yang baik. Dan ketika amanahnya dicabut, ia akan dengan senang hati memberikan posisinya kepada orang lain. Mungkinkah? Ya sangat mungkin. Semisal pada saat membangun bisnis ada 4 orang yang bekerjasama. Masing-masing berkontribusi sama, baik dalam hal modal, keahlian, jaringan, dsb. Lalu sharing keuntungan yang disepakati adalah masing-masing 25% . maka siapapun yang memimpin akan mendapatkan hak atas keuntungan yang sama. Jadi pemimpin yang meletakan jabatan tak akan berkurang hak atas keuntungannya.
Ketiga, bisnis berjamaah harus dilakukan oleh sekumpulan orang yang memiliki prinsip hidup yang sama. Misalnya memiliki pemahaman yang sama terhadap tauhid, makna hidup dan tujuan hidup. Akan sulit membangun organisasi bisnis jika satu orang berprinsip kerja itu ibadah, sementara yang lain berprinsip kerja itu untuk menumpuk dan menikmati kekayaan. Sangat sulit juga bekerja sama jika salah satu dari jamaah organisasi bisnis berpikiran bahwa bisnis itu untuk bekal akherat sementara yang lain berprinsip bisnis itu untuk mendapatkan kekayaan di dunia.
Keempat, menyelaraskan nilai dan pendapatan. Islam memandang penting keselarasan antara nilai dengan materi. Keduanya bukan pilihan. Bukan menyuap atau ga dapat rezeki. Tapi tidak melakukan suap lalu mendapatkan rezeki. Nilai kebersamaan atau ukhuwah misalnya, harus selaras dengan pendapatan dan produktivitas.makin kuat kebersamaan makin produktif.
Beraambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Ada Komentar?