Kamis, 18 September 2014

Koalisi Orang Baik

Saya mengenal istilah koalisi saat menjadi aktivis mahasiswa di era 90an. Saat itu istilah koalisi jamak digunakan oleh para politisi untuk membangun kerjasama memuluskan sebuah skenario politik. Karena semangat perlawanan terhadap prilaku elit, istilah koalisi kami jatuhkan derajatnya untuk hal-hal remeh temeh seperti ngajak ngisep rokok bareng, ngajak makan diangkringan bareng, atau bahkan saat pdkt dengan cewek-cewek kampus yang imut. Ada beberapa kalimat ajakan berkoalisi yang jatuh derajatnya itu yang masih saya ingat, seperti; Bung, ayo koalisi tuku Djarum 76. Atau "yuh koalisi mangam sego kuching neng angkringan pak boss". Atau kepada cewek-cewek kampus yang sebenarnya takut kami dekati sering keluar kalimat seperti ini, "dek, seperti asik kalau kita bisa koalisi lebih dekat lagi, neh. Boleh main ke koskosan nya gak?"
Hadoh jatuhlah derajat istilah koalisi saat itu, hehee.
Paska mahasiswa, saya pulang ke kampung halaman, lalu terlibat eksperiment politik dengan para elit dalam pemilihan Gubernur Kalbar. Saat itu istilah koalisi akrab terdengar lagi. Kali ini istilah koalisi berada salam martabat sebenarnya. Karena saat itu pemilihan Gubernur dilakukan oleh DPRD, maka koalisi dilakukan antar fraksi. Lalu saya mengenal istilah koalisi parati islam, koalisi partai nasionalis, koalisi poros tengah, koalisi poros tikus, dsb.
Koalisi-koalisi itu adalah sebuah bentuk kerjasama dengan kepentingan politik praktis yang sangat pragmatis, yaitu hanya dalam rangka untuk menggolkan kandidat sebagai calon gubernur. Ketika sang calon terpilih, tak ada lagi istilah koalisi.
Oleh karena itu sebenarnya saya sangat benci dengan istilah koalisi. Walaupun demikian istilah koalisi tetap saya gunakan untuk membangun jaringan sosial.
Jaringanpun dapat terbangun dalam waktu cepat. Mulai dari jaringan seniman, budayawan, pedagang kaki lima, preman pasar, perguruan silat, organisasi mahasiswa, sampai organisasi sosial kemasyarakatan.
Nampaknya besar...namun ternyata dalam waktu singkat jaringan sebesar itu tak dapat bertahan lama dalam sebuah koridor gerakan bersama yang berkepanjangan. Mengapa? Ya karena persoalan koalisi itu. Ternyata koalisi itu punya tradisi menampikan asas niat baik, dan moralitas. Yang penting bisa saling mendukung masing-masing agenda, ya udah ayo sama-sama. Tak heran dalam perjalannya banyak kerjasama bubar karena perilaku person-person yang tak berniat baik dan tak bermoral baik. Artinya hanya gara-gara perilaku satu orang sebuah agenda baik bisa terkatung katung dalam sebuah meja diskusi tanpa aksi.
Pendek cerita saya mulai enggan membangun jaringan koalisi lagi. Males! Karena memang sedikit manfaatnya buat kemajuan amal baik.
Hampir 3 tahun diam membisu.sibuk bergulat dalam interaksi 4 komponen, mouse, keyboard, monitor dan internet. Namun kerinduan bersosialisasi muncul kembali. Harus ada yang diperbuat untuk sesama dan bersama-sama. Tapi apakah harus menggunakan istilah koalisi lagi? Ah benci kali aku dengan istilah itu.
Tapi tak ada istilah yang lebih akrab dari istilah itu pula...
Tak apalah...kali ini saya kasi ekstensi dibelakang kata koalisi itu dengan kata 'orang baik'. Sehingga istilahnya sekarang adalah koalisi orang baik.
Namun dimanakah orang baik itu berada? Bukankah sudah tak ada lagi orang baik disekitar saya? Tapi tak mungkin....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar?

ORANG JAWA LEBIH JAGO BERPOLITIK

Iseng-iseng otak-atik angka durasi umur negeri-negeri di Pulau Jawa. Kesimpulannya orang Jawa itu lebih jago berpolitik daripada orang ...