Minggu, 15 Juni 2014

MENERIMA CAHAYA CINTA


Cinta. Itulah yang membedakan antara manusia dengan hewan. Hewan punya cinta, tapi  cinta yang dimiliki oleh hewan tak berlangsung panjang. Hewan juga tak punya kemampuan untuk mengatur volkume cinta. Ia tak mampu menyedikitkan atau memperbanyak. Cintanya segitu saja tak berkurang. Tidak juga bertambah. Ia juga tak mampu mengatur sendiri kapan cinta itu harus dihadirkan. Kapan cinta itu hilang.

Seekor harimau misalnya, tentu memiliki cinta. Ia misalnya, sangat mencintai anak-anaknya. Ia akan melindungi anaknya dengan sekuat tenaga, bahkan ia akan melindungi anaknya dengan nyawanya. 

Namun cinta yang sempurna itu tak berlangsung lama. Cinta hewan buas itu memiliki durasi yang pendek. Harimau misalnya hanya memiliki durasi cinta antara 2-3 tahun. Saat sang anak beranjak dewasa misalnya, cinta sang induk pada anaknya akan berangsur-angsur pudar. Dan ketika sang anak sudah semakin mandiri dalam memenuhi kebutuhan ekonomis terlebih ketika sanga anak sudah mulai mengenal asmara, maka cinta sang induk akan hilang. Sang induk  bahkan bisa terlibat dalam konflik fisik yang sangat keras dengan anak yang ia lahirkan dengan susah payah itu.

Berbeda dg hewan, potensi durasi cinta manusia jauh lebih panjang. Bahkan tak dibatasi ruang dan waktu. Cinta manusia dapat berlangsung sangat panjang namun bisa pula berlangsung dengan sangat pendek. Manusia juga bisa mengatur cintanya. Ia bisa mengatur kapan harus menumbuhkan, kapan ia harus membunuh cinta dan menggantinya dengan kebencian.
Sayangnya, manusia sering lupa dengan kemampuannya untuk mengelola cinta ini. Karena tak memiliki kemampuan, maka seringkali kita melihat seorang manusia yang sedang mencintai seseorang bersikap dan berperilalku yang aneh-aneh. Seringkali juga kita menyaksikan drama anak manusia yang kejam tak terperi  karena rasa cintanya sudah ia buang habis dan ia gantikan dengan kebencian.

Dalam rumah tangga, katalis pengatur cinta adalah ego. Maka mengatur cinta sejatinya adalah mengatur ego. Ego yang tak terkendali membuat kita hilang kesadaran. Kita merasa menjadi sentral atas semua kemajuan. Sedangkan orang lain kita anggap sebagai sentral dari persoalan.

Merasa benar, merasa lebih baik, merasa ingin lebih menonjol, itulah bentuk aktualisasi dari ego kita. Dalam situasi yang ekstream saat ego memuncak, nafsu dapat dengan mudah membakar amarah. Lalu munculah pertikaian, munculah perseteruan, saling hardik, saling caci, bahkan berujung pada bentrok fisik.

Jika ego itu semakin tak terkendali hilanglah kemanusian kita, tak ada lagi saling percaya, tak ada lagi kedamaian. Hîdup saling curiga dan salingbenci. Hubungan antar anak manusia tak bisa salng menghargai tak bisa saling menghormati.

Namun demikian, ego adalah fitrah manusia. Ego tak mungkin lenyap dari diri manusia. Ego hanya bisa dikendalikan. Salah satunya dengan menghadirkan cinta dalam hati kita.

Sayangnya cinta itu tak akan pernah tumbuh di hati yang penuh dengan debu. Ia hanya bisa tumbuh di hati manusia yg bersih. Karena hati manusia sejatinya adalah cermin.

Karena cermin yang bersihlah, maka manusia mampu menerima cahaya cinta. Iya menerima! Karena itu berasal dari Tuhan. Manusia hanya mampu menerima lalu memantulkan kembali cahaya cinta itu kepada obyek yang ia mau.

Nah jika demikian adanya, mari bersihkan hati kita agar cermin jiwa kita menjadi lebih jernih. Dan semoga dengan kejernihan itu kita dapat menangkan percikan cahaya Allah dan memantulkannya kepada seluruh alam semesta.

Sungguh berbahagialah manusia yang mampu menerima cahaya cinta.

Bungben, Pontianak, 15 Juni 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada Komentar?

ORANG JAWA LEBIH JAGO BERPOLITIK

Iseng-iseng otak-atik angka durasi umur negeri-negeri di Pulau Jawa. Kesimpulannya orang Jawa itu lebih jago berpolitik daripada orang ...